
Lensa Bola – Juara bertahan Liga Champions musim lalu Paris Saint-Germain membuka perjalanan mereka di UCL musim 2025-2026 dengan hasil yang luar biasa. Klub asal Perancis itu menegaskan ambisinya untuk kembali merajai Eropa lewat kemenangan meyakinkan 4-0 atas wakil Italia Atalanta. Pertandingan yang berlangsung di Park des Princes, Kamis Dini Hari waktu Indonesia Barat itu, menjadi panggung bagi para pemain bintang PSG untuk unjuk gigi, sekaligus memperlihatkan evolusi taktik dari sang pelatih Luis Enrique, yang belakangan dikenal berani menerapkan metode-metode tak biasa.
Sejak awal pertandingan, atmosfer di Paris sudah begitu menggelegar. Tribuan supporter Les Parisiens memenuhi tribun dengan penuh keyakinan bahwa tim kesayangan mereka akan memberikan tontonan kelas dunia. Keyakinan itu terbukti hanya dalam hitungan menit ketika PSG langsung membuka keunggulan pada menit ketiga.
Kapten tim Marquinhos, yang biasanya berperan sebagai benteng pertahanan, kali ini menunjukkan kemampuan menyerangnya dengan melepaskan sepakan rendah yang menghujam jala gawang Marco Carneseci. Gol cepat ini tidak hanya menghidupkan semangat tim, tetapi juga memberikan sinyal tegas bahwa PSG ingin mendominasi Laga sejak menit pertama. Atalanta, yang dikenal sebagai tim pekerja keras dengan intensitas tinggi, mencoba untuk membalas.
Mereka berupaya menekan lewat kecepatan dan kombinasi serangan sayap, namun rapatnya lini pertahanan PSG membuat upaya itu sering kandas. Justru PSG yang berhasil menggandakan keunggulan pada menit ketiga sembilan. Kali ini, giliran Khvicha Kvaratskhelia, pemain anjar yang langsung menjadi sorotan.
Dengan skill individunya, ia menusup dari sisi kiri, melewati dua pemain lawan, lalu melepaskan tembakan keras kaki kanan yang tak mampu dihalau oleh keeper. Skor berubah 2-0 dan stadion pun meledak oleh sorak-sorai para pendukung. PSG hampir memperbesar keunggulan sebelum turun minum.
Setelah Marquinhos dilanggar Yunus Musah di kotak penalti, Wasid menunjuk titik putih. Bradley Barcola dipercaya sebagai ekskutor, namun tembakannya berhasil ditepis oleh Karneseci. Meski penalti gagal berbuah gol, PSG tetap menutup babak pertama dengan keunggulan nyaman 2-0.
Memasuki babak kedua, PSG tidak mengendurkan serangan. Baru 6 menit berjalan, Nuno Mendes yang beroperasi di sektor kiri, melakukan penetrasi tajam. Setelah kombinasi umpan dengan Vitinha, Mendes melepaskan sepakan kaki kiri yang menghujam ke tiang jauh.
Gol ini semakin menegaskan superioritas tuan rumah. Atalanta yang mencobak keluar dari tekanan semakin kehilangan arah, sementara PSG terus bermain lepas. Dominasi PSG akhirnya ditutup dengan gol keempat pada masa injury time.
Gonzalo Ramos yang belakangan mulai menemukan ketajamannya setelah sempat kesulitan di musim lalu, mencetak gol lewat penyelesaian klinis, usai menerima umpan matang dari Osman Dembele. Skor akhir 4-0 menegaskan pesta PSG di hadapan publik sendiri, sekaligus menjadi modal berharga untuk melanjutkan perjalanan di kompetisi paling prestisius Eropa. Di balik kemenangan ini, perhatian juga tertuju pada metode kepelatian Luis Enrique yang unik.
Untuk kedua laga kandang berturut-turut, Enrique memilih memantau babak pertama dari tribun penonton, dan bukan dari sisi lapangan. Keputusan ini sempat menimbulkan berbagai tanda tanya, namun Enrique pun menjelaskan alasannya. Menurutnya, dari atas tribun, ia bisa melihat gambaran yang lebih luas dan objektif tentang permainan timnya.
Dari atas, saya bisa mendapatkan lebih banyak informasi yang tidak terlihat dari pinggir lapangan, itu membantu saya memberikan instruksi yang lebih akurat saat jeda. Metode ini rupanya terinspirasi dari olahraga rugby, di mana para pelatih kerap memilih duduk di tribun agar dapat membaca pola permainan secara keseluruhan. Enrique menilai, dengan perspektif berbeda, ia bisa mengidentifikasi kesalahan kecil maupun celah yang bisa dimanfaatkan tim.
Komentar saya di ruang ganti saat melawan lane sebenar-benar berbeda, karena saya menyaksikan dari atas, ada banyak hal yang bisa diperbaiki, dan saya ingin selalu mencari cara baru untuk meningkatkan performa tim. Setelah turun minum, Enrique tetap kembali ke pinggir lapangan untuk mengarahkan para pemain secara langsung. Pada lagam melawan atalanta ini, ia terlihat dengan lengan kiri dibalut perban akibat cedera tulang selangka yang didapat dari kecelakaan bersepeda.
Namun, hal itu tidak mengurangi intensitasnya dalam memberikan instruksi. Enrique memang dikenal sebagai sosok yang total dalam memimpin tim. Keberanian Enrique dalam bereksperimen bukanlah hal baru.
Pada final Liga Champions musim lalu melawan Inter Milan, ia membuat publik terkejut dengan strategi kick-off yang disebut aneh namun brilian. Saat pluid kick-off berbunyi, bukannya membangun serangan dari belakang, PSG justru langsung menendang bola jauh ke wilayah pertahanan Inter Milan. Bola tersebut bahkan tidak diarahkan kerekan satu tim, melainkan ke area kosong sehingga berujung lemparan ke dalam bagi lawan.
Taktik ini tampak spele, tetapi sesungguhnya dirancang dengan matang. Enrique menyadari bahwa situasi lemparan ke dalam dekat area pertahanan lawan seringkali menyulitkan tim yang mendapatkannya. Dengan sudut umpan yang terbatas, lawan cenderung mudah ditekan.
PSG memanfaatkan momen ini untuk melakukan pressing agresif, memaksa Inter kehilangan bola, dan segera menguasai permainan. Strategi tersebut menjadi salah satu kunci keberhasilan PSG merebut Trophy Liga Champions pertama mereka musim 2024-2025. Langkah-langkah taktis seperti inilah yang membuat Enrique dipandang sebagai pelatih inovatif.
Meskipun dikenal sebagai penganut filosofi penguasaan bola sejak masa keemasannya di Barcelona, Enrique tidak kaku pada satu cara. Ia berani berpikir di luar kebiasaan, dan selalu terbuka terhadap metode baru yang bisa memberikan keuntungan kompetitif. Filosofinya adalah fleksibilitas, menjaga identitas permainan, namun tetap adaptif dengan situasi.
Kemenangan telak atas Atalanta juga menjadi bukti betapa solidnya squad PSG musim ini. Kehadiran Khvicha Kvaratskhelia menambah variasi serangan, sementara Gonzalo Ramos mulai menunjukkan ketajamannya. Pemain-pemain muda seperti Warren Zier Emery terus berkembang pesat, sedangkan fitinya makin matang dalam mengatur tempo.
Di sisi lain, pemain berpengalaman seperti Marquinhos, Nuno Mendes dan Dendele tetap menjaga stabilitas tim. Perpaduan generasi ini menjadikan PSG memiliki kedalaman squad yang mampu bersaing di berbagai level kompetisi. Meski demikian, Enrique tetap menekankan bahwa kemenangan besar ini bukan alasan untuk berpuas diri.
Tantangan berikutnya jauh lebih berat, yaitu laga tandang ke Camp Nou pada 1 Oktober untuk menghadapi Barcelona. Bagi Enrique, pertandingan ini memiliki nilai emosional tersendiri. Ia pernah membawa belau grana meraih treble winners pada tahun 2015 dengan trio MSN, dan kini ia harus menghadapi klub yang pernah mengukir sejarah bersama dengan dirinya.
Barcelona sendiri bukanlah lawan yang mudah. Dengan bintang muda seperti Lamin Yamal yang sedang bersinar, serta sejumlah pemain berpengalaman, laga ini diprediksi akan menjadi salah satu duel paling menarik di fase grup. Enrique menyadari, laga menghadapi mantan timnya akan penuh tekanan, tetapi ia yakin PSG memiliki kualitas untuk meraih hasil positif.
Dengan kualitas pemain kami, kemenangan seperti ini bukan kejutan, tapi perjalanan masih panjang, dan kami harus terus memperbaiki diri. Secara keseluruhan, kemenangan 4-0 atas Atalanta bukan sekedar hasil manis di awal kompetisi, melainkan juga sebuah pernyataan bahwa PSG siap mempertahankan mahkota Eropa. Dengan kombinasi bintang lama dan wajah baru, ditambah inovasi taktik dari Luis Enrique yang terus mengejutkan, Les Parisiens tampak memiliki semua syarat untuk kembali melangkah jauh.
Musi masih panjang, dan tantangan berat menanti, namun jika performa konsisten seperti ini dapat dijaga, PSG berpotensi mengulang kejayaan mereka di Eropa, sekaligus memperkuat posisi sebagai salah satu klub paling dominan di era modern.