
Lensa Bola – Sepak bola Indonesia kembali dihadapkan pada kenyataan pahit setelah dua kekalahan beruntun yang menimpa tim nasional di level berbeda. Setelah timnas senior takluk dari Arab Saudi pada babak keempat kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, giliran timnas U23 yang harus menelan hasil negatif dalam laga uji coba melawan India U23 di Jakarta. Kekalahan beruntun ini menambah panjang hasil kurang memuaskan yang diraih squad Garuda di bawah kepemimpinan pelatih-pelatih baru asal Belanda.
Dalam pertandingan uji coba melawan India U23, pelatih Indra Shafri yang menggantikan Gerald Vanenburg menurunkan sejumlah pemain yang sudah cukup berpengalaman di level internasional seperti Hokky Charaka, Muhamad Ferrari, dan Donny Tri Pamungkas. Hadiran tiga pemain tersebut diharapkan bisa membawa kestabilan permainan dan menjadi motor serangan utama untuk menekan tim tamu sejak awal laga. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
India tampil lebih dominan di babak pertama dengan permainan cepat dan pressing tinggi yang membuat lini pertahanan Indonesia kewalahan. Suhail Ahmad Bhatt menjadi mimpi buruk bagi pertahanan Garuda muda. Penyerang muda India itu mencetak dua gol cepat pada menit keempat dan dua lima memanfaatkan kelengahan bek Indonesia yang gagal mengantisipasi umpan silang dan pergerakan tanpa bola lawan.
Indonesia baru mampu memperkecil ketertinggalan melalui gol Donny Tri Pamungkas di menit keempat satu setelah memanfaatkan kemelut di depan gawang. Meski mencoba bangkit di babak kedua, tim Asuhan Vanenberg tidak mampu membalikan keadaan. Skor 2-1 untuk kemenangan India U23 bertahan hingga peluit panjang dibunyikan.
Hasil tersebut semakin memperburuk catatan performa tim Nas U23 Indonesia di level internasional. Sebelumnya, Garuda muda juga gagal meraih juara di ajang piala AFF U23 2025 meskipun bertindak sebagai tuan rumah. Dalam partai final yang digelar di stadion utama Glora Bung Karno, Indonesia kalah tipis 0-1 dari Vietnam.
Gol semata wayang yang dicetak oleh Nguyen Cong Puong pada menit ketiga tujuh menjadi pembeda dalam laga tersebut. Kekalahan itu meninggalkan kekecewaan mendalam bagi para supporter, terlebih karena ekspektasi terhadap generasi muda Indonesia yang sangat tinggi setelah capaian gemilang di turnamen sebelumnya. Masih segar dalam ingatan publik sepak bola tanah air, bagaimana timnas U23 di bawah Asuhan Shin Tae Yong berhasil mencatatkan sejarah dengan finish di posisi keempat piala Asia U23 2024.
Dalam turnamen bergangsi tersebut, Indonesia mampu menembus babak perempat final dengan status runner-up group dan secara heroik menyingkirkan Korea Selatan melalui drama adu penalty yang menegangkan. Namun, langkah mereka terhenti di semifinal setelah kalah 0-2 dari Uzbekistan, lalu kembali gagal merebut tiket Olimpiade Paris 2024. Usai tumbang secara kontroversial dari Guinea pada laga playoff.
Meski demikian, capaian tersebut tetap dianggap sebagai tonggak sejarah baru bagi sepak bola Indonesia. Sayangnya, selepas periode emas di bawah Asuhan Shin Tae Yong, arah perjalanan timnas Indonesia justru mengalami perubahan besar. Banyaknya kritik yang mengarah ke pelatih, membuat PSSI memutuskan untuk berpisah dengan pelatih asal Korea Selatan itu dan menunjuk dua pelatih asal Belanda yaitu Patrick Kluivert untuk menangani timnas Senior serta Gerald Vanenberg yang dipercaya membesut timnas U23.
Pergantian ini diharapkan membawa nuansa baru dalam gaya bermain timnas Indonesia, mengingat keduanya memiliki latar belakang dan pengalaman di sepak bola Eropa. Namun, hasil di lapangan justru memperlihatkan hal sebaliknya, alih-alih menunjukkan progres. Performa tim Nas Indonesia di bawah duet Kluivert dan Vandenberg malah menurun.
Publik sepak bola tanah air menaruh harapan besar bahwa kedatangan dua pelatih Eropa tersebut bisa membawa pendekatan taktik yang modern dan efektif. Akan tetapi, hingga kini hasil yang terlihat justru jauh dari harapan. Kekalahan di piala AFF U23 dan hasil buruk di kualifikasi piala dunia menjadi cermin betapa proses adaptasi dan penerapan strategi baru belum berjalan dengan mulus.
Timnas Senior Indonesia, yang kini ditangani oleh Patrick Kluivert, mencoba mengusung gaya bermain baru dengan formasi 4 bek sejajar. Transformasi taktik ini pertama kali diterapkan pada Laga Persahabatan melawan Taiwan di Stadion Utama Glora Bung Karno bulan lalu. Hasilnya cukup meyakinkan, Indonesia menang tolak 6-0.
Namun, kemenangan tersebut belum bisa dijadikan tolak ukur karena lawan yang dihadapi memiliki peringkat FIFA jauh di bawah Indonesia. Ujian sesungguhnya datang ketika menghadapi Lebanon. Dalam pertandingan yang juga menggunakan formasi 4-2-3-1, tim Garuda mendominasi jalannya Laga namun gagal untuk mencetak gol.
Pertahanan Lebanon yang rapat membuat barisan penyerang Indonesia kesulitan menciptakan peluang berbahaya. Situs resmi FIFA bahkan menyoroti perubahan besar dalam sistem permainan Indonesia di bawah Asuhan Kluivert, terutama pergeseran dari pola 3-bek ke 4-bek sejajar yang dianggap lebih ofensif namun juga lebih beresiko. Secara komposisi pemain, lini pertahanan Indonesia sebenarnya diisi oleh nama-nama berkualitas.
Di posisi back tengah, ada Jay Idzes yang bermain di sari A bersama Sassolo serta Kevin Diks dari Borussia Mönchengladbach. Mereka didukung oleh pemain berpengalaman seperti Rizky Ridho dan Justin Hubner. Di sektor fullback, Indonesia juga memiliki kedalaman yang baik dengan kehadiran Sandy Wals, Shayne Patynama, Nathan Tjoe-A-On, Dean James, dan Calvin Verdonk.
Namun ironisnya, ketika menghadapi Arab Saudi, justru sektor pertahanan menjadi titik lemah utama. Dalam Laga di King Abdullah Sport City Stadium, Indonesia harus mengakui keunggulan Arab Saudi dengan skor 2-3. Pertahanan kanan yang diisi oleh Jacob Sayuri menjadi sasaran utama serangan tim tuan rumah.
2 dari 3 gol Arab Saudi tercipta melalui sisi tersebut, masing-masing lewat aksi Saleh Al-Samad dan Feras Al-Buraikan. Keputusan Kluivert menempatkan Sayuri sebagai bek kanan, mendapatkan banyak kritik, mengingat posisi alami pemain asal Papua itu adalah winger dan bukan back murni. Selain itu, lini tengah Indonesia juga dinilai kurang kreatif.
Duet Joey Peluppesy dan Mark Klok di posisi gelandang bertahan gagal memberikan keseimbangan antara pertahanan dan serangan. Bahkan, kesalahan Klok dalam melakukan clearance berujung pada gol penyama kedudukan bagi Arab Saudi. Nathan Tjoe-A-On, yang dikenal memiliki kemampuan membaca permainan dan distribusi bola yang baik, justru tidak masuk dalam daftar pemain pada laga tersebut.
Sebuah keputusan yang kembali dipertanyakan oleh banyak pihak. Sektor serangan pun tak kalah bermasalah, 3 pemain yang ditempatkan di belakang striker utama Beckham Putra, Ricky Kambuaya dan Miliano Jonathans tidak mampu tampil maksimal. Beckham Putra jarang menyentuh bola karena kalah dalam duel fisik, sedangkan Jonathans hanya sesekali memberikan ancaman tanpa hasil yang signifikan.
Akibatnya, Indonesia kesulitan menciptakan peluang berbahaya. Statistik menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu melepaskan 5 tembakan tepat sasaran atau 5 kali lebih sedikit dibandingkan Arab Saudi, serta kalah dalam penguasaan bola dengan persentase 44,6 persen berbanding 55,4 persen. Kekalahan ini memperpanjang tren negatif Indonesia dan menimbulkan kekhawatiran mengenai peluang Garuda lalas ke piala dunia 2026.
Pertandingan berikutnya melawan Irak, menjadi laga hidup mati yang harus dimenangkan jika ingin menjaga asa keputaran selanjutnya. Kluivert pun dituntut untuk segera melakukan evaluasi mendalam, mulai dari pemilihan pemain, peran individu di tiap lini, hingga strategi pemain yang lebih realistis. Ia perlu menentukan arah pemainan Indonesia secara jelas, apakah ingin mendominasi penguasaan bola, bermain dengan serangan balik cepat, atau lebih pragmatis dengan fokus pada hasil akhir.
Situasi ini menunjukkan bahwa transformasi taktif tanpa kesiapan mental dan adaptasi pemain justru bisa berdampak negatif. Timnas Indonesia saat ini sedang berada pada fase transisi yang krusial. Setelah kehilangan sosok pelatih yang membawa stabilitas dan identitas permainan seperti Shin Tae Yong, Indonesia kini berusaha membangun ulang filosofi permainan di bawah tangan pelatih baru.
Namun, jika tidak disertai konsistensi, komunikasi yang baik, serta keberanian untuk menyesuaikan strategi dengan karakter pemain, maka hasil yang diharapkan akan sulit tercapai. Sementara itu, alih-alih mengkritik Patrick Kluivert maupun squad Garuda seperti di era Shin Tae Yong, komentator sepak bola Bung Towel justru mengomentari bagaimana reaksi publik yang menghujat pemain timnas Indonesia. Masing-masing pelatih punya taktikal.
Bagaimana cara kita menilai sepak bola? Timnas kita tergantung pada sudut pandang, Kalau kita melihat timnas kita yang penting menang, ya sudah sedangkal itu kita menikmati sepak bola. Jadi kita tunggu menang saja, kata Bung Toel dalam komentarnya.
Harapan publik sepak bola Indonesia masih tinggi, dukungan supporter tidak pernah padam, namun mereka juga menuntut perubahan nyata di lapangan. Kekalahan dari Arab Saudi dan India di usia 2-3 bukan sekedar soal hasil, melainkan refleksi dari persoalan mendasar dalam manajemen tim, strategi dan kesinambungan pembinaan pemain. Jika Patrick Kluivert mampu belajar dari kesalahan dan menemukan keseimbangan antara pendekatan Eropa dan karakter sepak bola Indonesia, bukan tidak mungkin masa depan Garuda kembali cerah.