Lensa BolaKejagalan tim nasi Indonesia melangkah ke piala dunia 2026, menjadi babak baru dalam perjalanan panjang sepak bola nasional. Setelah menampilkan performa penuh semangat sepanjang babak kualifikasi, squad Garuda akhirnya harus mengakui keunggulan lawan-lawannya di putaran keempat zona Asia. Dua kekalahan beruntun dari Arab Saudi dengan skor 2-3, dan Irak 0-1 mengakhiri mimpi Indonesia untuk pertama kalinya tampil di ajang sepak bola paling bergensi di dunia itu.

Hasil tersebut sekaligus memicu perubahan besar dalam struktur kepelatian tim nasional, termasuk berakhirnya kerjasama PSSI dengan pelatih kepala Patrick Kluivert dan seluruh staffnya, salah satunya Alex Pastor, asisten pelatih asal Belanda yang dikenal sebagai sosok tenang namun penuh analisis tajam di balik layar. Alex Pastor yang memiliki rekam jejak panjang di sepak bola Eropa, dan sempat menangani beberapa klub erodevisi, akhirnya angkat bicara mengenai kegagalan tersebut. Dalam wawancaranya dengan media Belanda, Pastur menegaskan bahwa timnas Indonesia telah bekerja keras dan berusaha maksimal dalam setiap pertandingan.

Namun menurutnya, upaya itu belum cukup untuk menembus batas yang sangat tinggi di level kualifikasi piala dunia. Ia menyebut, baik di lapangan maupun di ruang ganti, seluruh staff sudah menjelaskan kepada para pemain apa yang diharapkan dari mereka. Semua strategi dan instruksi sudah dijalankan dengan sepenuh hati, tetapi kenyataannya hal tersebut belum mampu menaklukan tim-tim dengan level sekelas Arab Saudi ataupun Irak.

Pernyataan Pastur, menggambarkan adanya kesenjangan yang masih cukup lebar antara kualitas tim-tim papan atas Asia dan Indonesia. Meski secara individu squad Garuda kini lebih kompetitif dengan hadirnya pemain-pemain diaspora seperti Jay Idzes, Kevin Diks, dan Ivar Jenner, tantangan terbesar justru ada pada konsistensi dan kematangan taktikal. Pastor menilai bahwa secara teknis Indonesia telah banyak berkembang dibandingkan dengan beberapa tahun lalu, tetapi menghadapi tim-tim dengan sistem permainan mapan dan pengalaman di piala dunia tetap menjadi ujian besar.

Kegagalan ini tidak berarti tim tidak kompeten, melainkan tanda bahwa fondasi sepak bola Indonesia masih membutuhkan waktu untuk benar-benar sejajar dengan kekuatan besar di Asia. Kekalahan di dua laga pamungkas bukan hanya berdampak pada moral pemain, tetapi juga memicu evaluasi mendalam di tubuh PSSI. Ketua Umum PSSI Erick Thohir dalam konferensi Persia menegaskan bahwa federasi perlu mengambil langkah cepat untuk memastikan kesinambungan program pengembangan tim nasional.

Keputusan memutus kerjasama dengan Patrick Kluivert dan staffnya bukan hanya karena hasil, tetapi juga bagian dari upaya menyegarkan kembali arah pembinaan menuju Piala Asia 2027 dan lebih jauh lagi, kualifikasi Piala Dunia 2030. Di tengah masa transisi ini, beberapa nama besar mulai dikaitkan dengan posisi pelatih kepala, termasuk legenda Belanda Frank de Boer, ex pelatih tim nasi Belanda Louis van Gaal, dan sosok yang sangat dikenal publik Indonesia Shin Tae Yong. Kabar kemungkinan kembalinya Shin Tae Yong, sontak menjadi topik panas di kalangan pecinta sepak bola nasional.

Pelatih asal Korea Selatan itu memang meninggalkan jejak mendalam selama menangani tim nasi Indonesia sejak akhir 2019 hingga awal 2025. Di bawah arahannya, Garuda tampil luar biasa dengan lolos keputaran ketiga kualifikasi Piala Dunia 2026 untuk pertama kalinya dalam sejarah, serta menembus babak 16 besar Piala Asia 2024. Namun, hubungannya dengan federasi berakhir secara mendadak pada Januari 2025 di tengah perjalanan kualifikasi.

Banyak pihak menilai keputusan pemencatan itu terlalu cepat dan emosional, mengingat Sinta Yong telah membawa perubahan besar dalam kultur disiplin, kebugaran dan filosofi permainan tim nasi Indonesia. Kini, setelah kegagalan di era Kluivert, publik kembali menaruh harapan besar agar Sinta Yong pulang ke kursi pelatih Garuda. Dalam wawancara terbarunya, pelatih berusia 55 tahun itu mengaku belum mendapatkan kontak resmi dari PSSI, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk kembali.

Ia mengatakan, belum ada telpon atau tawaran resmi sama sekali, namun jika ada tawaran serius tentu akan ia pertimbangkan. Prinsip saya, kalau ada tawaran yang baik, saya terbuka ke mana saja. Jujur saja, hati saya tetap untuk Indonesia.

Bahkan jika ada tawaran yang sedikit lebih baik dari negara lain, tetapi Indonesia datang dengan niat sungguh-sungguh, Indonesia akan tetap menjadi pilihan pertama saya. Pernyataan itu menjadi sinyal kuat yang disambut antusias oleh publik Indonesia. Banyak penggemar sepak bola menilai Shin Tae Yong bukan hanya pelatih, tetapi juga sosok yang menghidupkan kembali semangat nasionalisme sepak bola Tanah Air.

Di bawah kepemimpinannya, internasional tidak hanya berubah dari segi permainan, tetapi juga cara berpikir. Shin Tae Yong dikenal sebagai pelatih yang disiplin, tegas dan tidak segan memberikan kesempatan kepada para pemain muda. Ia juga berani mempromosikan talenta diaspora ke dalam skuad utama seperti Elkan Bagot, Jordi Amat hingga Jay Idzes.

Hasilnya terlihat nyata pada Piala Asia 2024 ketika Indonesia berhasil mencatatkan sejarah sebagai satu-satunya tim debutan yang lolos ke fase gugur. Jika kembali menukangi tim nasional, Shin Tae Yong menegaskan bahwa target realistis berikutnya adalah Piala Asia 2027 di Arab Saudi. Ia menilai, turnamen itu bisa menjadi batu loncatan penting menuju impian jangka panjang, yaitu tampil di Piala Dunia 2030.

Kalau dipersiapkan lebih baik, saya yakin Indonesia bisa menuju Piala Dunia 2030. Saya harap semua pihak bisa melihat ke depan dan terus membangun semangat itu lagi. Komentar tersebut dianggap banyak pihak sebagai bentuk komitmen emosional Shin Tae Yong terhadap proyek jangka panjang yang sempat ia mulai 5 tahun lalu.

Melihat situasi terkini, PSSI dikabarkan tengah menyiapkan tim khusus untuk menyeleksi pelatih baru dengan mempertimbangkan dua kriteria utama yaitu kemampuan membangun program jangka panjang dan rekam jejak menangani tim nasional. Shin Tae Yong dianggap memenuhi dua-duanya, tetapi federasi juga tak menutup kemungkinan mendatangkan pelatih Eropa dengan pengalaman besar. Namun, faktor kemistri dan pemahaman terhadap kultur sepak bola Indonesia menjadi bahan pertimbangan serius.

Di sisi lain, Shin Tae Yong memiliki keunggulan karena sudah memahami karakter pemain lokal, kondisi liga domestik, dan tantangan infrastruktur yang dihadapi sepak bola Indonesia. Dalam konteks yang lebih luas, kegagalan menuju Piala Dunia 2026 justru membuka ruang refleksi besar bagi sepak bola nasional. Program naturalisasi pemain diaspora memang berhasil meningkatkan kualitas kuat, tetapi pembinaan usia muda dan manajemen kompetisi domestik tetap menjadi fondasi utama yang harus dibenahi.

Shin Tae Yong pernah menekankan pentingnya sinergi antara klub, akademi, dan federasi agar generasi berjalan lancar. Ia menilai, tanpa fondasi yang kuat, prestasi hanya akan menjadi pencapaian sesaat. Kita tidak bisa hanya berharap pada pemain naturalisasi, kita perlu sistem yang membuat anak-anak Indonesia tumbuh dengan mental dan teknik yang kuat.

Kini, dengan semakin banyak pemain muda berbakat seperti Marcelino Ferdinand, Jans Raven, Miliano Jonathan, sehingga Mauro Zilstra, harapan itu mulai terlihat nyata. Mereka menjadi simbol dari generasi baru sepak bola Indonesia yang lebih modern, disiplin, dan berani bersaing di level internasional. Jika Shin Tae Yong benar-benar kembali, ia akan mewarisi generasi yang lebih matang dibandingkan dengan 5 tahun lalu, dengan potensi besar untuk tampil mengejutkan di Piala Asia 2027 dan kualifikasi Piala Dunia 2030.

Pada akhirnya, kisah ini tidak hanya tentang kegagalan menuju Piala Dunia 2026, tetapi juga tentang perjalanan panjang menuju kematangan sepak bola Indonesia. Alex Pastor mungkin benar bahwa Garuda masih tertinggal dari negara besar di Asia, tetapi semangat untuk bangkit tidak pernah padam. Dari kegagalan Kluivert hingga kemungkinan kembalinya Shin Tae Yong, semuanya menjadi bagian dari evolusi sepak bola nasional.

Yang terpenting bukan sekedar siapa pelatihnya, tetapi bagaimana seluruh elemen sepak bola Indonesia bersatu untuk melihat ke depan dan terus membangun fondasi kuat demi masa depan yang lebih gemilang.

lion mesdon
Oktober 22, 2025
Tags: ,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *