
Lensa Bola – Pertandingan lanjutan Liga Inggris antara Manchester United dan Everton di Old Trafford pada selasa dini hari waktu Indonesia Barat menghadirkan salah satu kejutan terbesar pada pekan ke-12 kompetisi. Apa yang awalnya dianggap sebagai peluang emas bagi Manchester United untuk bisa bangkit dari tren negatif, justru berubah menjadi malam yang penuh kekecewaan. Bermain di kandang sendiri dan menghadapi tim yang tampil dengan 10 pemain sejak menit ke-13, United malah tumbang dengan skor 0-1.
Kekalahan ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga semakin memperdalam krisis performa setan merah di bawah tekanan keras dari para pendukungnya sendiri. Sejak menit pertama, Manchester United mencoba bermain agresif. Ruben Amorim menurunkan kombinasi Patrick Dorgo, Ahmad Diallo, Bruno Fernandes, dan Brian Buemus sebagai motor serangan.
Kempat pemain tersebut diharapkan dapat memberikan dinamika baru bagi lini depan, yang dalam beberapa pekan terakhir tampak kehilangan kreativitas dan ketajaman. United menguasai bola, memanfaatkan lebar lapangan, dan mencoba membongkar pertahanan Everton melalui umpan-umpan silang, serta kombinasi cepat dari sektor tengah. Everton sendiri tidak tampil sebagai tim yang inferior.
Dengan Jack Grealish yang memimpin alur serangan, tim asuhan David Moyes tampil percaya diri meski datang sebagai tim tamu. Everton menunjukkan intensitas tinggi dan tidak ragu untuk melakukan pressing di area tengah, memanfaatkan celah dan miskomunikasi yang kerap muncul di lini tengah United. Namun, pertandingan berubah drastis setelah insiden kontroversial yang melibatkan dua pemain Everton Idrissa Ghee dan Michael Keane.
Pada menit ke-13, sebuah kesalahan koordinasi di lini belakang Everton membuat bola liar hampir dimanfaatkan oleh Bruno Fernandes untuk mencetak gol. Moment itu membuat Ghee sangat frustasi karena merasa Keane tidak sanggup menerima umpanya. Begitu bola keluar dari lapangan, Ghee langsung menghampiri Keane sambil melontarkan kata-kata bernada tinggi.
Keane yang merasa tidak bersalah membalas sehingga pertengkaran internal pun tak terelakan. Situasi memuncak ketika tangan Ghee melayang ke wajah Michael Keane. Wasid yang melihat kejadian itu secara jelas tidak ragu mengeluarkan kartu merah langsung.
Insiden tersebut memicu keributan kecil dan Ghee yang masih tersulut emosi bahkan sempat ingin kembali menyerang Keane sebelum akhirnya ditenangkan oleh Jordan Pickford dan D.I.A. Tindakan Idrissa Ghee jelas melanggar pasal 12 law of the game terkait misconduct yang menegaskan bahwa tindakan kekerasan tidak hanya berlaku terhadap lawan tetapi juga terhadap rekan satu tim maupun ofisial. Setelah Everton bermain hanya dengan 10 pemain, publik Old Trafford sempat bersorak penuh optimisme. Namun, harapan itu rupanya menjadi sumber kekecewaan besar.
Alih-alih menguasai situasi, Manchester United justru tidak mampu memanfaatkan keunggulan jumlah pemain. Tempo permainan mereka melambat, koordinasi buruk, dan peluang yang tercipta tidak cukup mematikan. Diskoneksi antara lini tengah dan lini depan semakin terlihat jelas.
Everton kemudian mengejutkan tuan rumah pada menit ke-29. Kiernan Desbury Hall yang tampil sangat percaya diri melepaskan tembakan keras dari luar kotak penalti. Bola meluncur akurat tanpa dapat dihentikan oleh keeper MU membuat Everton unggul 1-0.
Skor tersebut membuat para pemain Manchester United terlihat semakin gugup dan kehilangan ritme. 2 menit setelah gol tersebut, amat dialog hampir menyamakan kedudukan melalui tembakan keras dari depan kotak penalti. Namun, Jordan Pickford tampil luar biasa dan berhasil menepis bola yang mengarah ke sudut bawah gawang.
Pickford menjadi pemain kunci bagi Everton, menunjukkan refleks cepat dan ketenangan menghadapi tekanan berulang dari Manchester United. Hingga turun minum, tidak ada gol tambahan yang tercipta. Manchester United menutup babak pertama dengan tertinggal satu gol, dan atmosfer Old Trafford semakin terasa tegang.
Terlebih, karena pelatih timnas Inggris Thomas Tuchel hadir di tribun untuk menyaksikan langsung laga tersebut. Pada babak kedua, United mencoba meningkatkan intensitas serangan. Mereka menggempur Everton habis-habisan melalui kombinasi pergerakan Zirkzi, Beumo, Fernandes, dan Amat dialog.
Namun, Everton bertahan sangat dalam tetapi tetap disiplin. Organisasi pertahanan mereka sangat solid, dengan garis belakang yang kompak dan pressing situasional yang tepat. Pada 10 menit pertama, Emio menciptakan dua peluang emas yang seharusnya bisa dikonversi menjadi gol.
Tetapi lagi-lagi, Pickford tampil sebagai tembak kokoh yang sulit untuk ditembus. Joshua Zirkzi mendapatkan peluang terbaik pada menit ke-79 ketika ia menerima bola dari dalam kotak penalti. Namun, upayanya diblock oleh pemain bertahan Everton yang tampil luar biasa sepanjang pertandingan.
Meskipun Amorim melakukan beberapa pergantian pemain untuk menambah daya gedor, permainan Emio tetap tidak berkembang. Pola serangan mereka monoton, terlalu bergantung pada inspirasi Bruno Fernandes, dan sangat mudah dibaca oleh lini pertahanan Everton. United terus menekan hingga menit-menit akhir, tetapi kesalahan keputusan, buruknya koordinasi serta kurangnya determinasi dalam penyelesaian akhir, membuat mereka gagal mencetak gol.
Everton yang bermain dengan 10 pemain selama lebih dari 80 menit berhasil mempertahankan keunggulan mereka hingga peluit panjang dibunyikan. Kekalahan 0-1 ini menjadi pukulan keras bagi EMU yang kini gagal menang dalam 3 laga terakhir. Dengan 2 hasil imbang sebelumnya, mereka kini tertahan di peringkat ke-10 klasmen dengan 18 poin.
Everton yang bermain dengan 10 pemain selama lebih dari 80 menit berhasil mempertahankan keunggulan mereka hingga peluit panjang dibunyikan. Kekalahan 0-1 ini menjadi pukulan keras bagi EMU yang kini gagal menang dalam 3 laga terakhir. Dengan 2 hasil imbang sebelumnya, mereka kini tertahan di peringkat ke-10 klasmen dengan 18 poin.
Kembali ke performa EMU, kekalahan dari Everton mengungkap beberapa masalah mendasar. Pertama, ketidakmampuan memanfaatkan keunggulan jumlah pemain menunjukkan lemahnya kreativitas dan organisasi permainan. Yang kedua, struktur taktis EMU terlihat rapuh, terutama pada fase menyerang yang terlalu bergantung pada Bruno Fernandes.
Ketiga, tidak terlihat sosok pemimpin kuat yang mampu menenangkan tim maupun mendorong perubahan ritme saat mereka tertinggal. Keempat, Everton tampil dengan determinasi, kedisiplinan dan mentalitas tinggi yang justru tidak dimiliki oleh para pemain EMU pada laga kali ini. Kekalahan dari Everton bukan sekedar hasil buruk, tetapi menjadi cerminan krisis yang lebih mendalam.
Dengan kualitas kuat yang sebenarnya cukup kompetitif, EMU seharusnya tidak kesulitan mencetak gol kegawang tim yang bermain dengan 10 pemain. Tanpa evaluasi serius terhadap strategi, mentalitas dan efektivitas para pemain, Manchester United berpotensi kembali terjebak dalam fase kelam yang pernah mereka alami pada musim-musim sebelumnya. Pertandingan ini menjadi peringatan keras bagi pelatih, manajemen dan para pemain bahwa konsistensi dan determinasi harus segera diperbaiki jika mereka ingin kembali bersaing di papan atas Liga Inggris.






