Lensa Bola – Piala Afrika 2025 atau Afrika Cup of Nations kembali menjadi perhatian besar dalam landscape sepak bola global, terutama bagi klub-klub elit Eropa yang memiliki banyak pemain asal Afrika. Turnamen bergangsi antar negara di benua hitam ini akan digelar di Maroko pada 21 Desember 2025 hingga 18 Januari 2026, sebuah periode yang bertepatan langsung dengan fase paling padat dalam kalender kompetisi Eropa khususnya Premier League. Di Inggris, akhir Desember hingga awal Januari dikenal sebagai festive period, masa ketika klub-klub harus melakoni pertandingan secara beruntun tanpa jeda panjang.

Situasi ini membuat Afkon kembali dipandang sebagai ancaman serius bagi stabilitas performa klub-klub yang sedang bersaing ketat di papan atas klasmen. Kehilangan pemain kunci dalam periode tersebut tak jarang berujung pada penurunan performa, perubahan taktik mendadak hingga kegagalan meraih target musim. Padatnya kalender pertandingan Premier League selama festive period bukan sekedar tradisi, melainkan bagian dari karakter kompetisi yang menuntut kekuatan fisik, kedalaman squad serta ketahanan mental pemain.

Dalam kurun waktu sekitar 3 hingga 4 pekan, sebuah klub bisa memainkan 6 hingga 9 pertandingan di berbagai kompetisi, baik itu di Liga, Piala Domestik maupun kompetisi Eropa. Manchester United misalnya diproyeksikan harus menjalani 9 pertandingan hingga pekan pertama Januari, meskipun sudah tersingkir dari Piala Liga dan tidak tampil di kejuaraan Eropa. Rata-rata squad Asuhan Rup harus bertanding setiap 4 hingga 5 hari.

Jika dihitung dengan kebutuhan pemulihan fisik, latihan taktik dan perjalanan, beban ini sudah sangat berat meskipun tanpa gangguan turnamen internasional. Kondisi tersebut akan semakin kompleks bagi klub-klub seperti Manchester City atau Liverpool yang masih harus berbagi fokus antara Liga Domestik dan Liga Champions. Dalam konteks inilah, FIFA bersama dengan Konfederasi Sepak Bola Afrika atau CIF mengambil kebijakan kompromi mengenai pelepasan pemain.

Awalnya, klub diwajibkan melepas pemain yang dipanggil tim nasional mulai 8 Desember 2025. Namun, setelah dilakukan pembahasan intensif, tenggat waktu tersebut digeser menjadi 15 Desember 2025. Artinya, klub mendapatkan tambahan waktu satu pekan untuk tetap menggunakan jasa pemain-pemain Afrikanya sebelum turnamen dimulai.

Kebijakan ini mengikuti prinsip yang pernah diterapkan pada Piala Dunia 2022 di Qatar, di mana periode pelepasan pemain juga dilonggarkan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan klub dan tim nasional. Meskipun tampak menguntungkan bagi klub, keputusan ini justru menghadirkan dilema baru karena di sisi lain, merugikan tim nasional yang harus mempersiapkan diri dalam waktu yang sangat sempit. Dengan hanya memiliki waktu sekitar satu pekan untuk pemusatan latihan sebelum laga perdana, sebagian besar tim nasional peserta Afkon 2025 dipaksa bekerja ekstra keras untuk mematangkan taktik, membangun kekompakan, serta memastikan kondisi fisik pemain berada di level optimal.

Hal ini menjadi tantangan besar, terutama bagi negara-negara yang mayoritas pemain intinya berkarir di Eropa dan tersebar di berbagai liga. Koordinasi yang terbatas berpotensi mempengaruhi kualitas permainan pada fase awal turnamen. Namun di sisi lain, CIF harus menghadapi realitas kalender sepak bola global yang semakin padat dan sulit untuk mencari waktu ideal yang benar-benar bebas dari benturaan kepentingan.

Dari sudut pandang klub-klub Liga Inggris, dampak Afkon 2025 juga tidak merata. Manchester United diperkirakan akan kehilangan tiga pemain, yaitu Brian Beumo yang membela Cameroon, Nusair Mazerawi yang memperkuat timnas Maroko, serta Ahmad Dialo dari Pantai Gading. Kehilangan tiga pemain ini tentu sangat berpengaruh, namun masih tergolong moderate dibandingkan dengan beberapa klub lain.

Justru Sunderland, klub promosi yang tampil mengejutkan di papan atas, diprediksi menjadi tim yang paling terdampak. Tujuh pemain mereka berpotensi absen karena memperkuat negara masing-masing di Afkon, sebuah kondisi yang sangat beresiko bagi klub yang masih mengandalkan momentum musim pertama mereka kembali ke kasta tertinggi. Sebaliknya, Arsenal sebagai pemuncak kelas main sementara, serta Chelsea dan Leeds United relatif lebih aman karena tidak memiliki pemain yang harus dilepas ke turnamen tersebut.

Ketimpangan dampak ini sangat berpengaruh terhadap peta persaingan Premier League, klub yang kehilangan banyak pemain Afrika, harus melakukan rotasi besar-besaran, memberi kesempatan lebih luas kepada pemain pelapis, atau bahkan memainkan pemain yang belum sepenuhnya siap dalam pertandingan-pertandingan krusial. Di Liga yang perbedaannya seringkali ditentukan oleh margin tipis, kehilangan satu hingga dua pemain inti saja bisa berdampak besar terhadap hasil akhir pertandingan, apalagi jika pemain yang absen merupakan penyerang utama, gelandang pengatur tempo, atau bek sentral yang menjadi tulang punggung pertahanan. Di balik polemik dampak terhadap klub Eropa, Afkon 2025 juga memiliki dimensi historis dan strategis bagi tuan rumah Maroko.

Turnamen ini menandai pertama kalinya dalam 37 tahun Maroko kembali dipercaya menggelar ajang sebesar Piala Afrika. Sebanyak 52 pertandingan akan dimainkan di 9 stadion yang tersebar di berbagai kota besar. Surutan utama tertuju pada kompleks olahraga Prince Mouli Abdelah yang memiliki kapasitas sekitar 53.000 penonton dan akan menjadi lokasi pertandingan pembuka sekaligus final.

Penyelenggaraan Afkon juga menjadi ajang pemanasan penting bagi Maroko yang akan menjadi salah satu tuan rumah Piala Dunia 2030 bersama dengan Spanyol dan Portugal. Dengan demikian, turnamen ini bukan hanya tentang kompetisi tetapi juga tentang uji coba infrastruktur, sistem keamanan serta kesiapan logistik untuk event sepak bola berskala global. Afkon 2025 akan dibuka pada 21 Desember 2025 dengan laga Maroko melawan Komoro dan dijadwalkan berakhir pada 18 Januari 2026.

Penjatualan ini tergolong unik karena berbeda dari dua edisi sebelumnya yang lebih sering digelar pada Januari hingga Februari. Pada awalnya, CIF sempat merencanakan turnamen berlangsung pada Juni hingga Juli 2025 untuk menghindari benturan dengan kompetisi Eropa. Namun, rencana tersebut akhirnya dibatalkan karena berbenturan dengan Piala Dunia antar klub versi terbaru yang diperluas formatnya oleh FIFA.

Akibatnya, Afkon 2025 justru kembali dipindahkan ke musim dingin dan menjadi edisi pertama yang benar-benar berlangsung melewati Natal dan Tahun Baru. Beban ini semakin berat dengan adanya perubahan format Liga Champions yang kini menggunakan sistem Liga Tunggal dan memperpanjang fase kompetisi hingga akhir Januari. Artinya, klub-klub yang masih bersaing di Eropa harus mempersiapkan diri menghadapi bentrokan jadwal yang semakin ketat.

Pemain Afrika yang menjadi pilar utama klub berpotensi langsung kembali dari Afkon untuk menghadapi laga-laga penting di fase krusial Liga Champions tanpa waktu pemulihan yang ideal. Situasi ini membuat risiko akumulasi kelelahan semakin tinggi dan menuntut kecermatan ekstra dari tim pelatih dalam mengatur rotasi serta menit bermain. Meskipun sering menuai kritik dari klub-klub Eropa, penyelenggaraan Afkon pada periode Januari sebenarnya didasarkan pada pertimbangan rasional, terutama faktor cuaca.

Sebagian besar wilayah Afrika mengalami suhu yang lebih bersahabat pada periode Januari hingga Februari. Sehingga, resiko headstroke dan kondisi ekstrim bagi pemain dapat diminimalkan. Faktor ini sangat penting untuk menjaga keselamatan pemain dan kualitas pertandingan.

Selain itu, secara historis, periode ini dianggap paling ideal karena relatif tidak mengganggu kalender kompetisi domestik di Afrika dan masih memungkinkan pemain diaspora untuk pulang memperkuat negaranya, meskipun harus mengorbankan beberapa pertandingan klub. Namun, dinamika sepak bola modern yang semakin padat membuat kompromis semacam ini semakin sulit dicapai. Kalender internasional, Liga domestik, kompetisi Eropa hingga ajang global seperti piala dunia antar klub, saling berimpit satu sama lain.

Akibatnya, konflik kepentingan antara klub dan tim nasional menjadi persoalan klasik yang nyaris tak pernah benar-benar terselesaikan. Klub menginginkan perlindungan maksimal terhadap aset mereka, sementara negara menuntut hak untuk diperkuat oleh pemain terbaiknya di turnamen resmi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *