Lensa Bola – Liverpool kembali mengalami malam yang kelam dan penuh kekecewaan di Anfield saat menjamu PSV Eindhoven pada matchday ke-5 League Pass Liga Champions Kamis dini hari waktu Indonesia Barat. Harapan besar untuk bangkit setelah rangkaian hasil negatif justru berujung pada kekecewaan yang lebih mendalam, karena The Reds tumbang dengan skor telak 1-4 di hadapan para pendukung setelah menang. Atmosfer yang biasanya membara dan penuh semangat, berubah menjadi sunyi dan penuh rasa frustasi seiring permainan berjalan.

Kekalahan ini semakin menambah daftar panjang hasil buruk Liverpool dalam beberapa pekan terakhir, mempertegas bahwa klub raksasa ini sedang berada dalam periode tergelap dalam satu dekade terakhir. Padahal, banyak yang berharap pertandingan ini dapat menjadi titik balik setelah sebelumnya mereka juga dipermalukan 0-3 oleh Nottingham Forest di Premier League. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, Liverpool makin terpuruk, makin kehabisan ide, dan terlihat tidak memiliki jawaban atas tantangan taktik yang disajikan lawan-lawannya.

Arne Slott, pelatih yang menggantikan Jurgen Klopp dengan ekspektasi besar di awal musim, memilih turun dengan formasi 4-3-3 yang dianggap mampu memberi keseimbangan antara serangan cepat dan penguasaan bola. Di lini depan, ia memasang trio yang di atas kertas bisa menebar ancaman besar yaitu Kodi Gakpo, Mohamed Salah, dan Hugo Ekitike. Kombinasi ini diharapkan mampu memberi tekanan sejak menit awal, sementara sektor tengah dipimpin oleh Dominic Zobosla yang berperan sebagai jangkar pengatur serangan.

Secara kualitas permainan, sebenarnya tidak ada yang kurang. Liverpool dipenuhi nama-nama besar yang diakui sebagai salah satu squad terbaik di Eropa, namun pada kenyataannya, rumput hijau di Anfield memperlihatkan cerita berbeda. Organisasi permainan kacau, koordinasi rapuh, dan mental para pemain tampak runtuh dengan sangat mudah.

Namun, PSV datang ke markas Liverpool tanpa rasa gentar. Tim asal Belanda itu bermain agresif sejak awal, mengandalkan kombinasi serangan cepat dan tekanan intens di lini tengah. Sergino Des, Ivan Perisic, dan Gustil tampil sebagai motor permainan, tidak hanya mengalirkan bola dengan baik, tetapi juga berani menekan lini belakang Liverpool yang sejak awal terlihat tidak kompak.

Serangan pertama yang mengancam langsung membuahkan hasil saat laga baru berjalan beberapa menit. Lewat situasi sepak pojok, bola melambung ke tengah kotak penalti, dan Virgil van Dijk yang selama ini dikenal sebagai tembok kokoh pertahanan The Reds justru melakukan kesalahan fatal. Tangannya terangkat terlalu tinggi, dan bola mengenai tangannya sehingga wasit menunjuk titik putih tanpa ragu.

Van Dijk melakukan protes panjang, namun keputusan tidak berubah, dan Anfield terdiam melihat bencana awal yang menimpa timnya. Ivan Perisic yang maju sebagai eksekutor penalti dengan tenang mengirimkan kiper Giorgi Mamardasvili ke arah yang salah, menempatkan bola ke sudut kanan bawah gawang. Gol tersebut menjadi pukulan telak bagi Liverpool yang tampak goyah baik secara mental maupun ritme permainan.

Namun, di balik tekanan tersebut, para pemain The Reds masih berupaya mengejar ketertinggalan. Upaya itu membuahkan hasil ketika Cody Gakpo yang tampil agresif melakukan tusukan dari sisi kiri. Tembakannya ditepis oleh kiper PSV, tetapi bola jatuh di depan Dominic Szoboszlai yang tanpa kawalan mencetak gol penyeimbang.

Skor 1-1 membuat harapan sempat kembali tumbuh, dan suara sorakan kembali menggema di tribun stadion. Sayangnya, Liverpool gagal mempertahankan momentum. PSV semakin percaya diri dan beberapa kali menghasilkan peluang berbahaya.

Liverpool kemudian meminta penalti setelah Ekitike terjatuh akibat kontak, namun wasit menganggap tidak ada pelanggaran. Pertandingan semakin memanas, terutama ketika Van Dijk hampir membalikkan keadaan melalui sundulan keras yang membentur mistar. Babak pertama pun ditutup dengan skor imbang 1-1. Setelah jeda, kekhawatiran itu terbukti.

PSV tampil lebih terorganisir, lebih berani, dan jauh lebih efektif. Kombinasi passing cepat antara Malik Junior dan Gustil menembus pertahanan Liverpool dengan mudah. Thiel hanya perlu menyentuh bola sedikit untuk mengirimnya melewati Mamardasvili, membuat skor berubah menjadi 1-2.

Gol ini menurunkan intensitas Liverpool secara drastis. Aliran bola tersendat, transisi lambat, dan para pemain mulai terlihat buntu ketika mendekati kotak penalti lawan. Peluang terbaik datang melalui sepakan Szoboszlai dan sundulan Gakpo, namun keduanya gagal mengubah skor.

Badai sesungguhnya datang ketika Ibrahima Konate melakukan kesalahan kontrol yang sangat fatal. Kesalahan tersebut memberi ruang bagi Ricardo Pepe untuk menciptakan peluang emas. Mamardasvili sebenarnya mampu melakukan penyelamatan awal, tetapi bola memantul dan jatuh di kaki Driuc yang langsung memasukkannya ke dalam gawang. Skor menjadi 1-3 dan suasana stadion berubah drastis. Banyak fans yang memilih meninggalkan tribun lebih awal, tidak sanggup melihat tim kesayangannya dihajar di rumah sendiri.

Ironisnya, Liverpool tidak mampu memperbaiki keadaan hingga akhir laga. Pada masa injury time, PSV kembali menusuk pertahanan yang sudah kehilangan struktur. Des menembus sisi kanan tanpa penjagaan, lalu mengirimkan umpan tarik tepat ke kaki Driuc yang dengan tembakan keras mencetak gol keduanya malam itu.

Kedudukan 1-4 mengunci kemenangan besar PSV, sementara Liverpool hanya bisa menunduk ketika peluit panjang berbunyi. Kekalahan telak ini bukan sekadar hasil buruk dalam satu pertandingan. Ini menjadi potret nyata bahwa Liverpool berada dalam krisis yang lebih dalam dari sekadar kegagalan taktik.

Dalam tiga laga terakhir, mereka selalu kalah dan total kebobolan mencapai 10 gol. Sebuah catatan yang sangat memalukan untuk klub sebesar Liverpool. Di Premier League, mereka terdampar di posisi ke-12, sementara di Liga Champions justru merosot ke peringkat ke-13 fase liga.

Lebih buruk lagi, dari 12 laga terakhir di berbagai kompetisi, Liverpool menelan 9 kekalahan dan hanya meraih 3 kemenangan, masing-masing melawan Eintracht Frankfurt, Aston Villa, dan Real Madrid. Runtuhnya performa ini bermula dari kekalahan melawan Crystal Palace dan terus berlanjut melawan Galatasaray, Chelsea, Manchester United, Brentford, Manchester City, Nottingham Forest, hingga PSV Eindhoven. Bahkan, pembelian besar-besaran pada bursa transfer musim panas dengan mendatangkan banyak pemain bertalenta tidak memberikan dampak yang diharapkan.

Liverpool kehilangan identitas permainan dominan mereka, baik dalam build-up maupun eksekusi. Arne Slot kini berada dalam tekanan besar. Ia bahkan sempat merencanakan untuk mengubah filosofi tim menjadi lebih defensif dan pragmatis, sebuah pendekatan yang berlawanan dengan kultur menyerang agresif identik Liverpool. Namun hasilnya justru memperburuk keadaan. Publik mulai meragukan apakah pria asal Belanda itu masih mampu menyelamatkan musim ini atau justru membawa tim semakin jauh dari standar.

Jika Liverpool tidak segera menemukan solusi dan kebangkitan nyata dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin pergantian pelatih akan kembali menjadi opsi sebelum pergantian tahun. Krisis ini mengajarkan bahwa nama besar klub, gelar masa lalu, dan bintang-bintang besar dalam squad tidak menjamin stabilitas performa tanpa struktur permainan dan mental pemenang yang solid. Kekalahan melawan PSV meninggalkan luka mendalam tetapi juga memberi peringatan keras bahwa Liverpool harus berubah sekarang atau bersiap menyaksikan salah satu musim paling buram dalam sejarah klub.

lion mesdon
Desember 4, 2025
Tags: ,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *