Lensa Bola – Erling Haaland kembali mencuri perhatian dunia bukan karena torehan golnya bersama Manchester City, melainkan karena sikap politiknya yang jarang diungkap secara terbuka oleh pesepak bola top dunia. Menjelang lagakualifikasi Piala Dunia 2026 antara Norwegia dan Israel, Sang Penyerang menegaskan pendiriannya terhadap situasi di Timur Tengah dengan pernyataannya yang mengguncang Federasi Sipak Bola Dunia. Cukup sudah, pivot terlalu pilih kasih terhadap Israel, kata Haaland tegas di depan awak media.

Sementara negara lain mendapatkan sanksi berat karena konflik politik, Israel tetap diizinkan berkompetisi tanpa konsekuensi apapun. Ucapan itu menjadi headline di seluruh media Eropa. Dan dalam sekejap, nama Haalan bukan hanya dikaitkan dengan gol, asis maupun trofi, tetapi juga dengan keberanian berbicara tentang isu kemanusiaan.

Sesuatu yang jarang dilakukan oleh pemain aktif, apalagi dengan status sebesar dirinya. Beberapa hari sebelumnya, Haaland baru saja mencetak satu-satunya gol kemenangan Manchester City atas Brentford di Premier League. Ia tampil tajam, dingin dan efisien seperti biasanya.

Namun, begitu peluit akhir berbunyi, pikirannya langsung tertuju pada lagak internasional, yaitu Norwegia melawan Israel. Pertandingan yang bukan hanya penting secara kompetitif, tetapi juga secara demagna politis. Dalam klasemen grup e-kualifikasi Piala Dunia 2026, Norwegia memimpin dengan raihan sempurna 15 poin dari 5 pertandingan.

Namun bagi Haalan dan rekan-rekannya, pertandingan ini lebih dari sekedar soal tiket ke Piala Dunia. Lagak itu, terasa seperti kesempatan untuk mengirim pesan moral bahwa sepak bola tidak bisa menutup mata terhadap tragedi kemanusiaan yang tengah terjadi di Gaza. Sebelum pernyataannya viral, Haaland sebenarnya sudah menunjukkan kepedulian terhadap korban sipil di Timur Tengah.

Pada 2023 lalu, ia pernah mengunggah foto di akun Instagram pribadinya, dirinya berjalan di Stadion Etihad, sambil menggandeng dua anak kecil sebagai pendamping pemain. Dalam unggahannya itu, Haaland menulis kalimat sederhana tapi menusuk, tidak ada anak yang tak bersalah yang pantas mati. Kalimat itu muncul di tengah meningkatnya korban sipil akibat serangan di Gaza.

Kini, dua tahun berselang, sikap itu berkembang menjadi pernyataan politik yang lebih terbuka. Haaland menilai FIFA dan UFA bersikap tidak adil, karena terus mengizinkan Israel berkompetisi di tengah konflik yang menewaskan puluhan ribu warga sipil. Sebaliknya, Rusia langsung dilarang tampil di ajang internasional, usai melakukan invasi ke Ukraina pada 2022 lalu.

FIFA menghukum Rusia, tapi membiarkan Israel terus bermain. Ini adalah standar ganda yang memalukan bagi sepak bola dunia. Pernyataan itu, segera mengguncang dunia sepak bola.

Sejumlah pemain Eropa dan Timur Tengah, mengungkapkan dukungannya terhadap sikap Haaland baik secara terbuka maupun melalui unggahan di media sosial. Tagar hastag Stand With Haaland, bahkan sempat menjadi trending topic di Twitter. Tak hanya pemain, beberapa tokoh politik ikut mendukung.

Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez misalnya, telah lama menyuruhkan agar Israel dikeluarkan dari kompetisi internasional sampai kekerasan di Gaza benar-benar dihentikan. Juru bicara kelompok sosialis di Parlemen Spanyol Patsky Lopez, bahkan menyebut negaranya bisa saja memboykot Piala Dunia 2026 jika Israel tetap diizinkan untuk tampil. Di Norwegia sendiri, reaksi publik beragam.

Sebagian memuji keberanian Haalan berbicara di tengah tekanan besar dari lembaga sepak bola dunia. Namun sebagian lain menilai langkah itu beresiko dan bisa menyarat timnas Norwegia ke dalam kontroversi politik yang rumit. Meski begitu, mayoritas supporter mendukung Haaland dan bendera Palestina tampak berkibar di beberapa sesi latihan Norwegia menjelang pertandingan.

Tekanan besar itu membuat FIFA akhirnya angkat bicara. Presiden FIFA Gianni Infantino menyebut bahwa lembaganya tidak memiliki kewenangan untuk menangani persoalan geopolitik. Menurutnya, FIFA hanya bisa memajukan nilai persatuan dan perdamaian lewat olahraga.

FIFA tidak bisa menyelesaikan konflik global. Tugas kami adalah memajukan sepak bola di seluruh dunia dengan mengedebankan nilai kemanusiaan, pendidikan, dan solidaritas. Wakil Presiden FIFA Victor Montagliani menambahkan bahwa Israel berada di bawah jurisdiksi UFA dan bukan FIFA secara langsung.

Karena itu, keputusan mengenai keikutsertaan Israel ada di tangan Federasi Eropa. Namun, penjelasan itu tidak memuaskan banyak pihak. Para pengamat menilai FIFA terlalu berhati-hati karena takut menimbulkan tekanan politik dari negara-negara besar.

Beberapa media internasional bahkan menuding FIFA menggunakan alasan netralitas sebagai tameng untuk menghindari tanggung jawab moral. Tekanan terhadap Israel dalam dunia olahraga sebenarnya sudah muncul sejak lama. Tapi, kali ini suaranya jauh lebih besar.

Federasi Sepak Bola Turki misalnya secara resmi menyuruhkan agar Israel dilarang tampil di kompetisi UFA. Meski begitu, UEFA menunda keputusan terkait partisipasi Israel. Salah satu alasan yang muncul adalah adanya tekanan diplomatik dari Amerika Serikat dan sekutu barat yang meminta agar olahraga tidak dijadikan alat politik.

Kenyataannya, sulit memisahkan politik dari sepak bola. Sejak dulu, olahraga kerap menjadi panggung solidaritas dan perlawanan moral. Pertandingan Norwegia melawan Israel akhirnya tetap digelar di stadion Yuleval Oslo dengan pengamanan yang super ketat.

Pihak penyelenggara bahkan mengurangi kapasitas penonton dan melarang atribut politik di dalam stadion. Meski demikian, sebagian supporter tetap membawa bendera Palestina dan meneriakan seruan damai. Pemerintah Norwegia memastikan bahwa sebagian hasil penjualan tiket akan disumbangkan untuk lembaga kemanusiaan di Gaza.

Langkah ini menimbulkan ketegangan diplomatik dengan Federasi Sepak Bola Israel yang menuding keputusan tersebut sebagai bentuk keberpihakan politik terselubung. Bagi Haaland, semua itu tidak mengubah tekadnya. Kami tidak bermain untuk politik, kami bermain untuk hati nurani.

Setiap kemenangan adalah bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan. Pernyataan Haaland membuka kembali luka lama di dunia sepak bola. Tuduhan bahwa FIFA dan UEFA kerap menerapkan standar ganda tergantung siapa yang terlibat.

Ketika Rusia menginvasi Ukraina, larangan total diberlakukan hanya dalam hitungan hari. Namun, ketika Israel membombardir Gaza dan bahkan menimbulkan puluhan ribu korban sipil, FIFA memilih untuk diam. Banyak yang melihat ini sebagai bukti bahwa Federasi Olahraga Dunia tak sepenuhnya independen.

Mereka masih terikat oleh kepentingan ekonomi, politik dan diplomatik dari negara-negara berpengaruh. HaalanD lewat pernyataannya seakan menantang sistem itu secara terbuka, sesuatu yang hampir tidak pernah dilakukan oleh pemain aktif. Sepak bola bukan ruang hampa.

Jika kita bisa meboykot suatu negara karena perang, maka seharusnya semua negara yang melakukan hal sama juga mendapatkan perlakuan serupa, tulis kolumnis The Guardian dalam editorialnya pekan lalu. Reaksi terhadap Haalan pun terus bergulir. Beberapa sponsor global dikabarkan mulai berhati-hati, khawatir pernyataan pemain itu menimbulkan efek politis terhadap merek mereka.

Namun di sisi lain, banyak lembaga kemanusiaan dan organisasi sosial memuji sikap Haalan sebagai contoh bahwa atlet tidak boleh bungkam terhadap ketidakadilan. Pertandingan Norwegia vs Israel akan menjadi salah satu laga paling ditunggu dalam sejarah kualifikasi piala dunia, bukan karena kekuatan kedua tim di lapangan, tetapi karena makna yang dibawanya. Semua mata tertuju ke satu titik, apakah sepak bola masih bisa berdiri sebagai simbol neutralitas atau sudah menjadi cermin moralitas dunia? Erling Haaland telah menunjukkan bahwa seorang pesepak bola bisa lebih dari sekedar mesin gol.

Ia bisa menjadi suara bagi kemanusiaan, bahkan ketika resikonya besar dan reaksinya keras. Kritiknya terhadap FIFA bukan sekedar luapan emosi, melainkan bentuk protes terhadap sistem yang dianggap tak lagi konsisten dengan nilai-nilai yang selalu mereka kampanyekan. Pertandingan Norwegia vs Israel mungkin hanya satu dari sekian banyak laga di kalender kualifikasi piala dunia.

Namun, gema dari sikap Haalan jauh lebih besar daripada sekedar skor akhir. Ia telah membuka perdebatan global tentang moralitas, keadilan dan peran olahraga dalam dunia yang penuh luka. Dan mungkin, dibalik semua perdebatan itu, satu kalimat Haalan akan terus diingat, tidak ada anak yang tak bersalah yang pantas mati.

lion mesdon
Oktober 11, 2025
Tags: ,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *