
Lensa Bola – Insiden 17 Kartu Merah pada lagap perempat final Copa Bolivia antara Real Oruro melawan Blooming menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah sepak bola modern. Pertandingan yang digelar di Stadion Jesus Bormudes Oruro pada 26 November 2025 itu awalnya berjalan seperti pertandingan penting pada umumnya. Publik datang dengan harapan menyaksikan duel sengit namun sportif, sementara kedua tim turun dengan tekad untuk melangkah ke semifinal.
Namun, malam itu berubah drastis ketika tensi di lapangan meningkat dan puncaknya pecah menjadi keributan besar menjelang akhir pertandingan. Alih-alih ditutup dengan salaman dan saling menghormati, peluit tanda laga usai justru menjadi pemicu kericuhan yang sulit untuk diredam. Pertandingan yang berakhir imbang dua-dua tersebut berubah menjadi adegan kacau penuh dorongan, hukulan hingga aksi saling balas antar pemain kedua kubu.
Wasit berada dalam posisi tertekan ketika situasi berkembang begitu cepat. Adu mulut yang bermula dari ketidaksepakatan antara beberapa pemain berubah menjadi bentrokan yang melibatkan lebih banyak pihak. Beberapa ofisial pun ikut terseret ke dalam keributan, mencoba melerai namun akhirnya justru ikut tersulut emosi.
Saat chaos tak lagi terkontrol, Wasit mengambil keputusan yang jarang terjadi dalam sebuah pertandingan profesional. Total, ia mengeluarkan 17 kartu merah dalam satu malam. Keputusan tersebut bukan hanya bentuk penegakan disiplin, tetapi juga sebagai upaya memulihkan kondisi agar situasi tidak semakin memburuk.
Namun, keputusan itu sekaligus mencatatkan pertandingan tersebut sebagai salah satu laga dengan jumlah kartu merah terbanyak dalam sejarah sepak bola dunia. Dari laporan resmi yang dirilis seusai pertandingan, Blooming menjadi tim yang paling banyak menerima sanksi. Sebanyak 10 pemain dari klub tersebut harus meninggalkan lapangan, terdiri dari 8 pemain utama dan 2 ofisial tim.
Nama-nama seperti Gabriel Valverde, Richard Gomez, Franco Pose, Cesar Romero, Hector Suarez, Roberto Carlos Milgar, serta Cesar Manaco, masuk dalam daftar pemain yang langsung dikartu merah. Bahkan, pelatih Mauricio Soria pun tak luput dari hukuman setelah dianggap ikut berperan dalam memperkeruh suasana. Situasi ini menjadi pukulan berat bagi Blooming, mengingat mereka baru saja memastikan tiket semifinal dengan agregat 4-3, tetapi berpotensi kehilangan banyak pemain inti untuk kelaga berikutnya.
Sementara itu, Rael Oruro juga tak lepas dari sanksi serupa. Total, 7 nama dari pihak tuan rumah dikartu merah oleh wasid, termasuk Raul Gomez, Julio Villa,Jerko Vallejos, Eduardo Alvarez, pelatih Marcelo Robledo, serta dua nama lain yaitu Ivan Salines dan Ruben Taboada. Semua pihak yang menerima kartu merah dinilai memiliki kontribusi dalam pecahnya keributan.
Penterokan masal ini pada akhirnya mencoreng esensi olahraga yang seharusnya menjunjung tinggi nilai sportifitas dan mental kompetitif yang sehat. Bukan hanya publik lokal Bolivia yang menyayangkan kejadian ini, tetapi media internasional juga turut menyorotinya sebagai momen yang menunjukkan bagaimana pertandingan dapat berubah menjadi mimpi buruk ketika emosi tak terkontrol. Federasi Sepak Bola Bolivia dilaporkan akan memberikan perhatian serius terhadap kejadian ini.
Investigasi lanjutan sedang dipersiapkan dengan peninjauan rekaman pertandingan dan laporan tambahan dari perangkat pertandingan. Jika ditemukan pelanggaran lebih dalam atau keterlibatan pihak lain yang belum tercatat, bukan tidak mungkin jumlah nama yang akan mendapatkan sanksi akan bertambah. Selain itu, sanksi tambahan seperti larangan bermain dalam beberapa laga atau denda finansial juga menjadi opsi yang tengah dipertimbangkan.
Publik Sepak Bola Bolivia menuntut adanya evaluasi menyeluruh untuk mencegah kericuan semacam ini terulang kembali. Sebab, selain mencoreng nama kedua klub, kejadian itu juga turut mencoreng citra sepak bola nasional di mata dunia. Ironisnya, kejadian 17 kartu merah bukanlah peristiwa yang unik dalam sejarah sepak bola.
Sebelumnya, pada tahun 2012, Uruguay juga mencatatkan insiden serupa. Laga Wanderers melawan Juventud di Liga Arpetura menjadi ajang perseteruan emosional yang berujung pada keributan besar setelah pertandingan berakhir dengan skor 3-3. Suasana panas sudah terlihat sejak babak pertama ketika pemain Wanderers Diego de Souza lebih dulu mendapatkan kartu merah.
Ketidakpuasan pemain Wanderers memuncak di penghujung pertandingan karena klaim penalti yang mereka yakini layak diberikan tidak dikabulkan oleh Wasit. Peluit panjang menjadi pemantik kerusuhan ketika para pemain mulai saling dorong, saling pukul hingga menendang lawan. Keamanan stadion turun tangan, namun suasana baru meredah tidak lama setelah kerusuhan pecah.
Wasit, Leo dan Gonzalez kemudian mengambil angka tegas dengan mengeluarkan 16 kartu merah tambahan, 8 untuk masing-masing tim. Jika ditambahkan kartu merah pada babak pertama, total menjadi 17 angka sama dengan yang terjadi di Bolivia Bahkan, insiden ini merembet ke area penonton di mana seorang fans dilaporkan mengalami cadera kepala akibat benda yang dilempar dari tribun.
Insiden ini menjadi refleksi lain bahwa ketika mentalitas kompetisi di lapangan tidak dikendalikan, pertandingan bisa berubah menjadi arena kekacauan yang membahayakan semua pihak. Dua peristiwa ini menunjukkan bahwa sepak bola tidak hanya bergantung pada teknik dan strategi, tetapi juga pada kendali emosi, rasa hormat kepada lawan, serta penerapan nilai-nilai fairplay. Sepak bola bisa menjadi panggung kehormatan dan prestasi, tetapi juga dapat berubah menjadi panggung tragedi ketika kontrol diri hilang.
Insiden 17 kartu merah di Bolivia dan Uruguay menjadi alarm keras bagi olahraga dunia bahwa edukasi mental bertanding harus menjadi bagian penting dalam pembinaan atlet. Tanpa pembentukan karakter disiplin dan tanggung jawab, pertandingan beresiko kembali menjadi ajang baku hantam yang jauh dari makna kompetisi. Momen memalukan ini akan terus dikenang sebagai pengingat bahwa sportifitas harus dijaga, karena ketika hilang, pertandingan tidak lagi menjadi panggung keindahan, melainkan area konflik yang berakhir dengan catatan hitam dalam sejarah.






