Lensa BolaBayangkan saja bila jepang, negara yang selama ini menjadi simbol kekuatan sepak bola asia, benar-benar keluar dari afc. Guncangan besar akan terasa, bukan hanya di lapangan, tetapi juga di ruang rapat fifa. rumor tentang jepang yang ingin keluar dari afc, bukan sekedar gosip liar dari forum internet.

Media jepang japan football news menulis, bahwa asosiasi sepak bola jepang atau jfa, saat ini sedang menimbang langkah estrim, hingkang dari konfederasi sepak bola asia atau afc, dan mebentuk organisasi baru yang disebut sebagai federasi asia timur. jika langkah itu benar-benar diambil, asia bisa saja terbelah dua, sebuah peristiwa bersejarah yang mungkin mengubah peta kekuasaan sepak bola di seluruh benua. kabarnya jepang juga tidak sendirian, laporan yang sama menyebutkan ada 7 negara lain yang siap ikut meninggalkan afc.

Mereka adalah korea selatan, cina, korea utara, indonesia, vietnam, thailand, dan singapura. 8 negara ini disebut telah jenuh dengan cara afc dijalankan. bagi mereka, organisasi yang seharusnya menjadi rumah bagi seluruh negara asia, justru terasa seperti kerajaan kecil milik timur tengah.

Jepang, disebut frustasi terhadap sederat keputusan afc yang dianggap berat sebelah. salah satunya, menyangkut format kompetisi klub antar negara paling bergengsi afc champions league, yang kerap memusatkan babak akhir turnamen di wilayah timur tengah. kekecewaan jepang makin membesar, karena keputusan-keputusan itu dianggap tidak transparan, dan terlalu dipengaruhi oleh faktor uang.

Bukan rahasia, bahwa AFC kini sangat bergantung pada dana dan sponsor dari negara kaya minyak seperti Qatar dan Arab Saudi. Ketegangan ini sejatinya bukan nahal baru. Sejak lama, AFC memang dikenal sebagai konfederasi dengan geografi paling luas dan kompleks di dunia sepak bola.

Total ada 47 anggota di bawah AFC. Luasnya wilayah ini membuat perbedaan budaya, ekonomi dan kekuatan politik di dalamnya sangatlah besar. Negara-negara Timur Tengah punya pengaruh kuat karena kekayaan mereka dan posisi strategis politik Asia, sementara negara-negara Asia Timur lebih maju dari sisi infrastruktur dan prestasi.

Perbedaan kepentingan itu sering memunculkan gesekan, terutama ketika keputusan penting AFC kerap berpihak pada kawasan tertentu. Jepang termasuk salah satu yang paling fokal. Mereka merasa sistem yang ada sekarang tidak lagi sehat.

Salah satu titik puncaknya adalah keputusan AFC dalam memilih tuan rumah babak keempat kualifikasi piala dunia 2026 zona Asia. Lagi-lagi, lokasi pertandingan dipusatkan di Timur Tengah tanpa proses bidding yang terbuka. Banyak federasi menilai keputusan itu mencoreng asas keadilan kompetisi.

Jepang yang terkenal dengan perfeksionis dan menjunjung sportivitas merasa tidak bisa terus diam. Kekecewaan juga muncul di level negara lain. Korea Selatan pernah menuduh adanya pengaruh politik dan uang minyak setelah kalah dalam persaingan menjadi tuan rumah piala Asia 2023 yang akhirnya diberikan kepada Qatar setelah China mundur.

Keluhan serupa datang dari Vietnam dan Indonesia yang merasa keputusan wasit dan jadwal pertandingan sering tidak berpihak pada tim Asia Timur Tengah dan Tenggara. Kekecewaan itu kini mengkristal dalam satu ide besar. Kalau AFC tidak bisa adil, mungkin sudah waktunya membuat rumah baru.

Jika benar Jepang dan kawan-kawan membentuk konfederasi baru bernama Federasi Asia Timur, sejarah sepak bola dunia akan berubah. Secara geografis, langkah ini terbilang masuk akal. Amerika bisa saja terbagi jadi dua konfederasi.

Konmebol di Amerika Selatan dan Konkakaf di Amerika Utara dan Tengah. Jumlah anggota AFC yang mencapai 47 negara bisa dibagi relatif seimbang masing-masing sekitar 20 hingga 25 negara per konfederasi. Namun, dibalik ide sederhana itu ada persoalan rumit yang menanti.

Langkah keluar dari AFC bukan sekedar urusan teknis. Ini menyangkut pengakuan dari FIFA, politik diplomasi dan perang pengaruh antar kawasan. FIFA tentu tidak bisa sembarangan mengakui konfederasi baru tanpa proses yang panjang.

Jika delapan negara keluar, status mereka sementara bisa menggantung dan tidak berhak mengikuti kompetisi resmi FIFA, termasuk piala dunia. Situasi ini jelas beresiko besar, apalagi bagi negara seperti Jepang yang sudah memastikan lolos ke piala dunia 2026. Namun di sisi lain, ada alasan mengapa ide ini menggoda.

Bayangkan, jika delapan negara itu bersatu, Jepang dengan profesionalisme dan teknologi sepak bolanya, Korea Selatan dengan militansi dan prestasi global, Cina dengan sumber daya finansial besar, serta Indonesia, Vietnam dan Thailand dengan basis support raksaksa di Asia Tenggara. Kombinasi ini bisa menciptakan pasar baru yang luar biasa besar, baik dari segi ekonomi, hak syiar maupun komersial. Namun, tentu jalan menuju itu tidak mudah.

Negara-negara kaya Timur Tengah seperti Qatar dan Arab Saudi hampir pasti akan melawan. Mereka tidak hanya punya kekuatan finansial, tetapi juga pengaruh politik besar di FIFA. Kedua negara itu sudah menjadi pemain penting di panggung global lewat sepak bola.

Dengan uang dan kekuatan diplomasi itu, mereka bisa saja menekan FIFA agar menolak pengakuan terhadap konfederasi baru dari Asia Timur. Di sisi lain, AFC sendiri tentu tidak akan tinggal diam. Jika Jepang benar-benar hengkang, itu berarti kehilangan salah satu aset berharganya.

Jepang bukan hanya tim dengan prestasi paling konsisten di Asia, tetapi juga salah satu pasar paling menguntungkan secara ekonomi. Meski begitu, masih banyak yang meragukan apakah rencana ini bisa benar-benar terwujud, sebab langkah seperti ini bukan hanya soal idealisme, tetapi juga pertaruhan besar. Negara seperti Indonesia misalnya harus berpikir dua kali.

Di satu sisi, ide konfederasi baru menawarkan keadilan dan peluang lebih besar untuk berkembang tanpa harus tunduk pada kekuasaan Timur Tengah. Tapi di sisi lain, resiko kehilangan akses ke kompetisi FIFA atau terguncangnya stabilitas Liga Domestik juga tidak bisa diabaikan. Apalagi sepak bola Indonesia yang sedang menuju ke fase kebangkitan, dengan dukungan publik luar biasa dan performa Timnas yang mulai meningkat.

Bergabung dengan proyek besar, tapi belum pasti seperti Federasi Asia Timur, bisa menjadi langkah berani sekaligus berbahaya. Namun bagi sebagian pengamat, langkah Jepang mengancam keluar dari AFC justru bisa menjadi sinyal peringatan keras bagi petinggi konfederasi Asia. Ini bisa menjadi momentum untuk mereformasi struktural AFC, yang selama ini dinilai terlalu sentralistik dan bias.

Jika AFC terus dianggap menjadi organisasi Timur Tengah, maka kepercayaan publik di kawasan lain akan terus menurun. Dan ketika kepercayaan hilang, pecahnya Asia bukan hal yang mustahil. Beberapa analis bahkan menilai pembagian Asia menjadi dua konfederasi mungkin justru lebih efisien di masa depan.

Secara teknis, pembagian ini bisa menciptakan kompetisi yang lebih sehat, jarak perjalanan yang lebih pendek, dan distribusi keuntungan yang lebih merata. Tetapi, semua itu bisa terjadi jika FIFA berani mengambil keputusan politik besar, (6:49) sesuatu yang jarang mereka lakukan. Untuk saat ini, isu keluarnya Jepang dari AFC masih sebatas rumor.

Belum ada pernyataan resmi dari JFA. Tetapi di balik rumor itu, ada kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan. Banyak negara di Asia Timur dan Tenggara sudah muak dengan sistem yang mereka anggap tidak transparan dan terlalu berpihak pada uang minyak.

Dalam konteks ini, Jepang mungkin hanya menjadi suara lantang dari keresahan yang dirasakan banyak pihak. Asia mungkin belum akan benar-benar terbelah dalam waktu dekat. Tetapi, ide itu sudah lahir dan kini hidup di benak banyak federasi.

Dan seperti yang sering terjadi dalam dunia sepak bola, setiap perubahan besar selalu dimulai dari suatu hal kecil, rasa ketidakadilan yang menumpuk terlalu lama.

lion mesdon
Oktober 19, 2025
Tags:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *