
Lensa Bola – Ajax Amsterdam kembali menelan pil pipe di kancah Eropa, setelah dibantai Galatasaray dengan skor telak 0-3 pada match day keempat Liga Champions 2025-2026. Bermain di Johan Cruyff Arena, kamis dini hari waktu Indonesia Barat, klub raksaksa Belanda itu tampil tanpa arah, dan kehilangan identitas permainan yang selama ini menjadi ciri khas mereka. Kekalahan memalukan di depan publik sendiri, menambah panjang catatan buruk yang dialami Ajax Amsterdam musim ini.
Bintang laga kali ini adalah Victor Oseman, penyerang asal Nigeria milik Galatasaray yang mencetak hatrik dan menjadi mimpi buruk bagi tuan rumah. Hasil tersebut, tak hanya membuat posisi Ajax di klasmen semakin terpuruk, tetapi juga mencatatkan rekor kelam dalam sejarah panjang klub kebanggaan ibu kota Belanda itu. Hingga empat laga fase grup berlalu, Ajax belum meraih satupun poin.
Mereka terbenam di dasar klasmen dengan catatan buruk, hanya mampu mencetak satu gol dan kebobolan 14 kali. Catatan ini menegaskan betapa tajamnya penurunan performa klub yang pada tahun 2019 pernah menembus semifinal Liga Champions, dan nyaris lolos ke final sebelum dikalahkan Tottenham secara dramatis. Kini, kejayaan di masa lalu itu seakan tinggal kenangan yang semakin pudar.
Kekecewaan para penggemar Ajax pun tak terbendung. Suara cemoohan menggema di Johan Cruyff Arena saat peluit panjang dibunyikan. Para supporter yang selama ini dikenal fanatik, kehilangan kesabaran setelah tim kesayangan mereka menelan kekalahan ketujuh beruntun di kompetisi Eropa, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya sepanjang sejarah klub.
Dengan hasil tersebut, Ajax juga menyamai rekor buruk dua klub Belanda lain Willem II pada musim 1999-2000, dan Feyenoord pada musim 2017-2018, yang sama-sama kalah di empat laga awal fase grup Liga Champions. Fakta tersebut menjadi simbol betapa dalam krisis yang kini Melanda Klub berjuluk Dego Denzen itu. Tekanan besar pun langsung mengarah kepada pelatih kepala John Hatinga, sosok yang sebelumnya sempat menjadi kebanggaan fans karena merupakan mantan pemain Ajax dan produk akademi mereka sendiri.
Namun, karir kepelatihannya di klub ini berakhir jauh dari harapan. Tak lama setelah kekalahan dari Galatasaray, pihak manajemen Ajax mengumumkan keputusan besar dengan memecat John Hatinga sebagai pelatih kepala. Ajax telah menangguhkan John Hatinga dengan segera.
Kontraknya yang berlaku hingga 30 Juni 2027 kini berakhir. Hal yang sama juga berlaku bagi asisten pelatih Marshall Kaiser. Untuk sementara waktu, posisi pelatih kepala akan diambil oleh Fred Grimm.
Pemecatan ini menandai akhir yang cepat bagi masa kepelatihan Hatinga, yang baru ditunjuk sebagai pelatih utama pada awal musim 2025-2026, dalam 15 pertandingan di semua kompetisi, Ajax hanya mampu meraih rata-rata 1,82 poin per laga, sebuah angka yang jauh dari standar klub sebesar Ajax Amsterdam. Di kancah Liga Champions, performanya bahkan lebih buruk dengan 4 kekalahan beruntun tanpa 1 pun kemenangan. Direktur teknik Alex Cross mengakui bahwa keputusan ini sangat sulit, namun harus diambil demi masa depan klub.
Ia menilai bahwa meskipun Hatinga memiliki komitmen tinggi, Ajax justru menunjukkan tanda-tanda stagnasi, bahkan kemunduran di bawah arahannya. Kami harus mengambil langkah ini karena perkembangan tim tidak sesuai dengan rencana yang telah disusun. Dalam beberapa bulan terakhir, kami kehilangan arah dan performa di lapangan terus menurun.
Dalam situasi darurat ini, Fred Grimm, pelatih berpengalaman yang sebelumnya menangani tim muda Ajax, ditunjuk sebagai pelatih interim, hingga klub menemukan sosok pelatih tetap. Setelah pemecatan Hatinga, rumor tentang kemungkinan rewani Ajax dengan Eric Ten Hag langsung mencuat ke permukaan. Beberapa media Belanda, seperti Algemin, Dark Black, dan The Telegraph melaporkan bahwa Direktur Alex Cruz telah melakukan pertemuan informal dengan Eric Ten Hag di Huisen.
Meski pertemuan itu disebut sebagai kopi santai yang sudah direncanakan, waktunya yang berdekatan dengan pemecatan Hatinga membuat publik yakin bahwa Ajax tengah berupaya keras memulangkan pelatih yang membawa mereka ke masa keemasan. Ten Hag, yang kini berstatus tanpa klub, setelah meninggalkan Bayer Leverkusen usai periode singkat di sana, masih memiliki tempat spesial di hati fans Ajax. Pada masa jabatannya antara 2018 hingga 2022, ia memimpin Ayak menjuarai 3 gelar Eredivisie, 2 piala KNVB, dan menorehkan catatan mengesankan di Liga Champions 2018-2019 ketika mereka menyingkirkan Real Madrid dan Juventus sebelum tersingkir secara dramatis di semifinal.
Kembalinya Eric Ten Hag dianggap sebagai satu-satunya opsi realistis untuk mengembalikan kestabilan Ajax, baik dari sisi taktik maupun mentalitas tim. Dibawah arahannya dulu, Ajax dikenal dengan sepak bola atraktif berbasis penguasaan bola, pressing tinggi serta keberanian memainkan pemain muda. Filosofi itu pula yang melahirkan sejumlah bintang seperti Frenkie de Jong, Matthijs De Ligt, Donny van de Beek, Hakim Ziyech, dan Usair Mazruwi yang kini semuanya berkarir di klub besar Eropa.
Menurut pengamat sepak bola Belanda, Ten Hag memiliki pemahaman mendalam tentang DNA Ayak Amsterdam. Ia tahu betul bagaimana menggabungkan tradisi akademi dengan kebutuhan modern sepak bola Eropa. Jika benar kembali, Ten Hag tidak hanya akan membawa pendekatan taktis yang solid, tetapi juga mengembalikan kepercayaan diri seluruh elemen klub yang kini terpecah antara manajemen, pemain, dan supporter.
Namun, jika Eric Ten Hag benar-benar kembali ke kursi kepelatian, tantangan yang akan dihadapinya jauh lebih berat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Squad Ajax, saat ini dinilai terbatas dan cacat oleh media-media Belanda, baik dari segi kualitas maupun kedalaman pemain. Beberapa pemain kunci seperti Wout Weghorst, Oskar Glauck, dan Mika Goertz memang memiliki potensi besar.
Namun, belum cukup mampu mengangkat performa tim secara kolektif. Cedera pemain senior, serta inkonsistensi di lini pertahanan semakin memperparah situasi. Di kompetisi domestik, Ajax masih tertahan di posisi tiga besar area defisi, tertinggal cukup jauh dari PSV Eindhoven dan Feyenoord yang tampil lebih konsisten.
Dalam situasi seperti ini, target realistis Ajax musim ini mungkin bukan lagi perbutan glauck, melainkan pemulihan identitas dan kestabilan performa. Jika Ten Hag benar-benar kembali, ia akan menghadapi ekspektasi besar untuk membangun kembali tim dari dasar, bukan sekedar mengangkat trofi. Akademi The Two Comps, yang dulu menjadi kebanggaan, kini tak lagi seproduktif era sebelumnya.
Minimnya regenerasi pemain muda berkualitas, membuat Ajax terpaksa bergantung pada transfer eksternal yang tidak selalu sukses. Alex Cruz dan jajaran direksi baru, kini dihadapkan pada tugas berat untuk mengembalikan filosofi Ajax yang berakar pada pengembangan pemain muda dan permainan menyerang yang indah. Pemilihan pelatih baru akan menjadi langkah yang krusial.
Jika benar Ten Hag kembali, klub harus memberikan dukungan penuh, termasuk dalam hal struktur teknis, perekrutan pemain dan pembendahan manajemen akademi.






