
Lensa Bola – Sebanyak 42 negara telah memastikan tempat mereka di putaran final Piala Dunia 2026 yang akan digelar di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko mulai 11 Juni hingga 19 Juli tahun depan. Namun, di tengah antusiasme global terhadap perluasan jumlah peserta dan format baru turnamen, muncul kontroversi yang melibatkan dua negara peserta yang berada dalam daftar larangan masuk Amerika Serikat menurut kebijakan Donald Trump. Kedua negara tersebut adalah Iran dan Haiti.
Keberadaan kedua negara ini dalam daftar larangan menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai kelancaran pelaksanaan turnamen, kelayakan akses bagi pemain dan ofisial, serta nasib supporter yang biasanya menjadi bagian penting dari atmosfer Piala Dunia. Kebijakan larangan masuk tersebut diterbitkan pada Juni tahun ini dan mencakup 12 negara yang dinilai memiliki resiko keamanan tinggi atau masalah administratif yang dianggap merugikan Amerika Serikat. Dalam kasus Haiti, Pemerintah Amerika Serikat mengutip tingginya angka pelanggaran masa tinggal visa atau overstay sebagai salah satu alasan pembatasan disertai kekhawatiran terhadap potensi jaringan kriminal yang berkaitan dengan negara tersebut.
Untuk Iran, isu keamanan dan ketegangan diplomatik yang telah berlangsung lama antara kedua negara menjadi dasar utama dari pencantuman mereka dalam daftar larangan. Kebijakan ini pada dasarnya berlaku untuk seluruh warga dari negara-negara yang tercantum, baik yang berstatus imigran maupun non-imigran, sehingga menibulkan potensi hembatan besar bagi kegiatan yang bersifat internasional seperti olahraga. Meski demikian, Pemerintah Amerika Serikat memberikan kelanggaran khusus bagi atlet, pelatih dan ofisial yang akan bertanding di ajang berskala global seperti Piala Dunia 2026 dan Olimpia de Los Angeles 2028.
Kelanggaran ini memungkinkan tim nasional Iran dan Haiti untuk tetap berpartisipasi dalam turnamen meskipun dengan pembatasan tertentu termasuk pelarangan membawa supporter dalam jumlah besar atau rombongan yang tidak masuk dalam kontingen resmi. Hal ini tentu menjadi pukulan berat bagi komunitas supporter dari kedua negara, terutama Haiti yang memiliki diaspora besar di berbagai negara dan biasa memberikan dukungan penuh dalam turnamen internasional. Di sisi lain, FIFA memberikan respon tegas terhadap isu tersebut.
Presiden FIFA, Gianni Infantino, menyatakan bahwa Piala Dunia adalah ajang yang harus terbuka bagi seluruh rakyat dunia dan bahwa turnamen tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya jika penggemar dari negara tertentu dilarang memasuki wilayah tuan rumah. Meskipun pemerintah Amerika Serikat kemudian menjamin bahwa tim nasional Iran tidak akan mengalami kendala serupa saat turnamen berlangsung, kejadian tersebut menimbulkan khawatiran bahwa persoalan birokrasi dapat menghembat kelancaran penyelenggaraan event internasional ini. Lolosnya Iran dan Haiti sendiri, merupakan hasil perjuangan panjang dalam fase kualifikasi masing-masing konfederasi.
Iran menjadi negara ketiga dari Asia yang memastikan tiket keputaran final setelah Jepang dan Australia dengan hasil imbang 2-2 melawan Uzbekistan di ronde ketiga kualifikasi AFC. Sebagai salah satu kekuatan tradisional Asia, Iran kembali membuktikan konsistensi mereka dalam menembus panggung terbesar sepak bola dunia. Sementara itu, Haiti meraih tiket bersejarah setelah mengalahkan Nicaragua 2-0 pada lagapenentu grup C kualifikasi zona Konkakaf.
Iran menjadi negara ketiga dari Asia yang memastikan tiket keputaran final setelah Jepang dan Australia dengan hasil imbang 2-2 melawan Uzbekistan di ronde ketiga kualifikasi AFC. Sebagai salah satu kekuatan tradisional Asia, Iran kembali membuktikan konsistensi mereka dalam menembus panggung terbesar sepak bola dunia. Sementara itu, Haiti meraih tiket bersejarah setelah mengalahkan Nicaragua 2-0 pada lagapenentu grup C kualifikasi zona Konkakaf.
Persaingan ketat akan membuat daftar peserta lengkap menjadi semakin dinantikan, terutama dengan perubahan format yang memungkinkan 48 negara tampil dalam turnamen untuk pertama kalinya. Namun, perhatian dunia tidak hanya tertuju pada siapa yang akan melengkapi daftar peserta, melainkan juga pada bagaimana Amerika Serikat akan menangani tantangan diplomatik dan logistik terkait kebijakan imigrasi mereka sendiri. Situasi ini memperlihatkan persinggungan antara olahraga dan politik internasional yang tidak dapat dihindari.
Sebagai tuan rumah utama, Amerika Serikat dituntut untuk memastikan bahwa seluruh negara peserta, tanpa terkecuali dapat berkompetisi tanpa diskriminasi atau hambatan yang tidak seharusnya. Jika izin masuk bagi supporter tetap dibatasi atau ditolak, maka bukan tidak mungkin, hal itu melahirkan ketegangan diplomatik antara Amerika Serikat dan negara-negara yang terdampak. Selain itu, beberapa pihak menilai bahwa hal tersebut bisa menciptakan presiden buruk bagi penyelenggaraan turnamen olahraga di masa depan, terutama jika negara tuan rumah memiliki kebijakan imigrasi yang ketat.
Organisasi Hak Asasi Manusia, Lembaga Internasional dan Pemerhati Olahraga Global juga memberikan perhatian serius terhadap isu ini, karena prinsip kebebasan mobilitas merupakan bagian dari fondasi kompetisi olahraga global. Sebagai lembaga tertinggi sepak bola dunia, FIFA berada dalam posisi yang sulit. Di satu sisi, mereka tidak ingin mencampuri urusan politik dalam negeri-negara penyelenggara, namun di sisi lain, mereka bertanggung jawab memastikan bahwa turnamen berjalan sesuai dengan nilai-nilai universal olahraga, termasuk akses bebas bagi peserta dan komunitas pendukung mereka.
Dengan semakin dekatnya waktu pelaksanaan piala dunia, diskusi antara FIFA, pemerintah Amerika Serikat serta perwakilan negara-negara terdampak, diprediksi akan semakin intens untuk menciptakan solusi yang meminimalkan konflik. Dunia sepak bola kini menunggu bagaimana semua pihak mampu menemukan jalan tengah yang memastikan bahwa piala dunia menjadi perayaan persatuan global, bukan ajang yang dinodai oleh ketegangan politik dan kebijakan eksklusif. Meski Iran dan Haiti telah dipastikan dapat bertanding, ketidakjelasan mengenai akses bagi pendukung mereka masih menyisakan kekhawatiran.
Piala dunia 2026 pada akhirnya akan menjadi ujian besar bagi Amerika Serikat, bukan hanya dalam hal penyelenggaraan olahraga, tetapi juga dalam memperlihatkan komitmen terhadap nilai-nilai inekslusifitas yang menjadi inti dari perhelatan sepak bola terbesar sejagat.






