
Lensa Bola – Pemecatan Mark Robin sebagai sosok yang dianggap ikon dan penyelamat klub selama hampir satu dekade menyisakan luka mendalam di kalangan pemain dan para supporter. Suasana ruang ganti retak, performa tim menurun, dan kepercayaan diri para pemain menurun drastis. Dalam kondisi seperti itu, kedatangan Lampard dianggap lebih sebagai keputusan politis ketimbang strategi olahraga yang matang.
Namun, waktu membuktikan bahwa keraguan itu keliru. Hampir satu tahun berselang, Coventry City menjelma menjadi salah satu tim paling menarik di EFL Championship musim 2025-2026. Di bawah senduhan Lampard, The Sky Blues berubah total dari tim yang nyaris terpuruk menjadi kekuatan baru yang siap menantang tiket promosi ke Premier League.
Lampard bukan hanya memenangkan gejolak di ruang ganti, tetapi juga mengembalikan semangat dan identitas klub yang sempat memudar. Kini, nama Coventry kembali disebut di antara para kandidat promosi, sesuatu yang terasa mustahil ketika ia pertama kali datang. Ketika mengambil alih posisi pelatih, Coventry di peringkat ke-17 kelas main championship.
Tim kehilangan arah, permainan tidak solid, dan hubungan antara pemain renggang. Lampard menyadari, pekerjaan pertamanya bukan sekedar memperbaiki taktik, melainkan menata ulang fondasi tim baik secara teknis maupun psikologis. Dengan pengalaman sebagai pemain top dan pelatih muda yang sempat menangani klub-klub besar seperti Derby County, Chelsea dan Everton, Lampard membawa pendekatan seimbang antara kedisiplinan dan kepercayaan diri.
Perlahan tapi pasti, hasil positif mulai terlihat. Coventry menutup musim 2024-2025 dengan luar biasa. Mereka, finish di posisi kelima kelas main dan lolos ke babak playoff promosi.
Meskipun langkah Coventry terhenti secara dramatis di tangan Sunderland, performa impresif itu menjadi titik balik penting. Lampard menjadikan kekalahan tersebut sebagai bahan evaluasi dan motivasi. Ia menegaskan kepada para pemain bahwa tim sedang berada di jalur yang benar.
Kami belum sampai di tujuan, tapi fondasi sudah kami bangun. Yang dibutuhkan sekarang hanyalah konsistensi dan keyakinan. Memasuki musim 2025-2026, Coventry tampil lebih solid, kompak, dan tajam.
Hingga pekan ke-12, mereka belum terkalahkan dan kokoh di puncak kelas main championship. Catatan produktivitas mereka mencengangkan, yaitu 34 gol dicetak dan hanya sembilan kali kebebolan. Statistik tersebut menjadikan Coventry sebagai tim dengan lini serang paling berbahaya, sekaligus pertahanan paling efisien di liga.
Dua nama menjadi simbol kebangkitan ini adalah G. Wright dan Brandon Thomas Asante. Keduanya bersaing ketat di daftar pencetak gol terbanyak dengan masing-masing 8 dan 9 gol. Di sisi lain, Milan van Eyck menjadi kreator utama lewat 5 asisnya, sementara keeper muda Karel Rashford tampil menawan dengan 4 clean sheet.
Kombinasi daya serang mematikan dan ketangguhan lini belakang, menjadikan The Sky Blues lebih dari sekedar kejutan, sementara mereka kini dipandang sebagai penantang serius untuk promosi langsung ke Premier League. Berbeda dengan klub-klub championship lain yang mengandalkan kekuatan finansial untuk membeli pemain, Lampard memilih jalur yang lebih rasional. Ia membangun tim berdasarkan sekuat warisan Mark Robbins, mengutamakan stabilitas dan pematangan pemain muda.
Rekrutan besar hanya datang pada Januari 2025, ketika Coventry mendatangkan Matt Grimms dari Swansea City dengan biaya Rp4 juta ponsterling. Dilandang berpengalaman itu, ini menjadi jantung permainan tim mengatur ritme dan distribusi bola di lini tengah. Selain Grimms, Lampard memaksimalkan potensi pemain yang sudah ada.
Milan Van Eyck dan Jack Radonyi, dua pemain muda berbakat yang sempat diincar klub Premier League, memilih bertahan karena percaya dengan visi jangka panjang sang pelatih. Di lini tengah, Victor Torp berkembang pesat menjadi gelandang box-to-box yang dinamis, sementara duet Bobby Thomas dan Liam Kitching memperkuat lini pertahanan dengan disiplin tinggi. Di sektor sayap, kombinasi kecepatan Tatsuhiro Sakamoto dan Bredan Thomas Asante, menciptakan variasi serangan yang eksplosif dan sulit ditebak.
Lampard tidak hanya mengandalkan bakat individu pemain. Fokus utamanya sejak awal adalah membenahi organisasi permainan. Kami terlalu mudah kebebolan, kurang kompak dan tidak cukup agresif saat kehilangan bola.
Jadi, hal pertama yang saya lakukan adalah memperkuat kerja sama bertahan. Pendekatan ini pun terbukti efektif. Kini, Coventry memimpin dalam sejumlah statistik penting, termasuk jumlah tembakan terbanyak dan peluang tempat sasaran terbanyak di Championship.
Lebih jauh lagi, dalam metric expected goals, Coventry berada di posisi teratas dibanding para pesaing utama seperti Middlesbrough, Millwall dan Bristol City. Data ini menunjukkan bahwa peningkatan performa Coventry bukan sekedar keberuntungan, melainkan hasil kerja taktis yang sistematis. Lampard berhasil menciptakan keseimbangan antara menyerang dan bertahan, sesuatu yang menjadi ciri khas tim-tim promosi sukses di era modern.
Untuk memahami arti kebangkitan ini, penting menengok kembali sejarah Coventry City. Klub ini berdiri pada tahun 1883 dengan nama Singer FC. Nama tersebut diambil dari nama pabrik sepeda singer di kota Coventry.
15 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1898, nama klub diubah menjadi Coventry City. Julukan The Sky Blues muncul karena warna biru langit yang sejak awal menjadi identitas mereka. Sepanjang sejarahnya, Coventry telah melewati berbagai pasang surut dari kejayaan hingga keterpurukan.
Momen paling bersejarah terjadi pada tahun 1987 ketika Coventry menjuarai piala FA, gelar terbesar mereka hingga saat ini. Dibawah asuhan John Silat dan George Curtis, mereka menubangkan tim-tim kuat seperti Manchester City dan Leeds United sebelum mengalahkan Tottenham Hotspur di final yang dramatis di Wembley. Kemenangan itu menjadi simbol kebanggaan kota Coventry dan masih dikenang hingga saat ini.
Namun, setelah masa kejayaan itu, klub mengalami degradasi berulang kali dan bahkan sempat terperosok ke League Two atau devisi keempat sepak bola Inggris. Kebangkitan modern dimulai di era Mark Robbins. Setelah membawa klub promosi ke League One pada 2018 dan ke Championship pada 2020, Robbins menanamkan kembali semangat kompetitif dan identitas permainan menyerang.
Musim 2022-2023 menjadi momen nyari sempurna ketika Coventry mencapai final playoff promosi. Namun, mereka kalah lewat adu penalti melawan Luton Town. Semenjak saat itu, Coventry selalu dianggap sebagai klub dengan potensi besar, tetapi belum mampu menembus batas tertinggi.
Kini, di bawah asuhan Lampard, peluang itu terbuka kembali. Bagi Lampard, periode di Coventry terasa seperti perjalanan pembuktian diri. Setelah mengalami dua masa sulit bersama dengan Chelsea dan Everton, reputasinya sempat terpuruk.
Banyak yang menilai, ia bukan pelatih dengan kemampuan manajerial mumpuni, melainkan hanya mengandalkan nama besar sebagai legenda. Namun, Coventry memberi panggung berbeda. Di klub dengan tekanan lebih rendah dan atmosfer kerja yang lebih stabil, Lampard mampu membangun kembali kepercayaan dirinya, sekaligus mengasah kemampuannya dalam membina tim dari nol.
Di sini saya belajar tentang kesabaran dan detail. Saya punya waktu untuk bekerja langsung dengan pemain tanpa tekanan media yang ekstrim seperti di Premier League. Ia juga menambahkan bahwa Coventry memberinya kebebasan untuk membangun proyek jangka panjang, sesuatu yang jarang dimiliki di klub besar.
Dengan performa yang terus menanjak, Coventry kini dianggap sebagai salah satu kandidat kuat promosi otomatis ke Premier League musim depan. Jika mereka mampu mempertahankan konsistensi hingga akhir musim, Lampard berpotensi mencatat sejarah dengan membawa The Sky Blues kembali ke kasta tertinggi setelah absen selama lebih dari dua dekade. Terakhir kali Coventry bermain di Premier League adalah pada musim 2000-2001, sebelum terdegradasi dan lama berjuang di devisi bawah.
Keberhasilan itu, jika terwujud, akan menandai puncak perjalanan Lampard dalam menembus kegagalan masa lalunya. Bagi supporter Coventry, kebangkitan ini bukan sekedar prestasi olahraga, melainkan simbol bahwa klub dengan sejarah panjang dan semangat kerja keras masih bisa bersaing di tengah dominasi tim-tim besar.






